Oleh Dewana Pinasthika dan Vela Fadhila Amijaya mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya
Hampir setahun Covid - 19 melanda global dan menimbulkan efek domino. Sampai saat ini, masih belum ada yang mengetahui kapan virus ini berakhir. Seperti yang diketahui, awal tahun kemarin disambut dengan situasi kelangkaan dan kenaikan harga sejumlah barang. Hal ini terjadi hampir di seluruh dunia. Berdasarkan Food and Agriculture Organisation (FAO), harga pangan pada tahun 2020 mencapai level tertinggi sejak 2018. Walaupun sempat mengalami penurunan pada pertengahan tahun 2020, harga pangan pada Desember 2020 mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan bulan lain sejak enam tahun terakhir. Harga pangan dunia secara keseluruhan menjadi 7.5% lebih mahal dibandingkan rata-rata harga pangan tahun 2014-2016. Secara umum, kenaikan harga pangan terjadi karena menurunnya stok minyak sawit.
Harga pangan dunia tahun 2020 tidak stabil. Pada masa awal pandemi COVID-19, harga pangan mengalami penurunan. Penurunan diakibatkan oleh daya beli yang menurun serta gangguan rantai pasok karena kebijakan lockdown. Akan tetapi, pada September 2020 harga pangan mulai meningkat hingga rekor tertinggi pada Desember 2020. Kenaikan harga ini disebabkan oleh menurunnya persediaan minyak sawit. Persediaan minyak sawit yang menipis meningkatkan Indeks Harga Minyak Nabati yang kemudian menyebabkan Indeks Harga Pangan naik. Penyebab lainnya adalah kondisi cuaca kering serta kenaikan harga susu (1.7%) dan daging (3.2%) pada Desember 2020 menyebabkan Indeks Harga Pangan meningkat.
Hal ini juga berimbas di Indonesia, beragam jenis komoditas mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan. Seperti halnya, tahu dan tempe yang langka dikarenakan adanya kendala dalam permasalahan impor serta beberapa komoditas lainnya seperti cabai rawit, telur ayam, daging sapi dan kebutuhan pokok lainnya. Sementara itu, harga beras dan jenis bawang relatif stabil di pasar. Telaah lebih lanjut, hal ini disebabkan karena adanya permasalahan dari sisi distribusi. Distribusi yang mengalami gangguan akibat Corona yang pada akhirnya berujung pada naiknya harga pangan.
Dalam ekonomi, hal ini juga dapat terjadi karena adanya shock antara supply dan demand. Jumlah pasokan yang berkurang akibat terhalangnya pandemi dan juga kondisi yang dipengaruhi karena minat yang rendah terhadap penanaman petani setelah mengalami penurunan demand saat musim panen. Selain itu, menurut peneliti CIPS, Galuh Octania, mengatakan bahwa tidak hanya berimbas pada kenaikan harga pangan, tetapi juga diprediksi beberapa provinsi akan mengalami defisit beberapa komoditas pangan, seperti, jagung, gula, cabai, dan kebutuhan pokok lainnya. Defisit ini sendiri disebabkan oleh provinsi yang bukan merupakan penghasil utama dari komoditas tersebut ditambah dengan adanya gangguan dari proses distribusi yang telah dipaparkan sebelumnya akibat PSBB. Ketersediaan beberapa komoditas memang berasal dari impor, seperti bawang putih, gula, daging sapi, bahkan kedelai yang tentu akan mengalami fluktuasi harga kedepannya.
Di sisi lain, harga beras justru meningkat disebabkan oleh stockpiling behavior atau menimbun barang secara berlebihan yang bertujuan untuk memenuhi produksi domestik. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan antara supply dan demand. Banyak negara yang mengamankan ketersediaan pangan domestik terlebih dahulu dengan tidak melakukan ekspor dan tertutup pada impor. Untuk itu, bagi pemangku kebijakan, kenaikan harga pangan pada saat ini, sebaiknya dapat dijadikan acuan sebagai titik kebangkitan kemajuan pertanian dan kesejahteraan petani Indonesia. Tidak sedikit negara yang memulai pembangunan dengan basis pertanian yang kokoh dan hal ini juga dapat dibuktikan bahwa sektor pertanian mampu menjadi pengganda atau memiliki efek multiplier pendapatan dan tenaga kerja apabila diatasi secara konsisten.
Daftar Pustaka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H