Dalam sebuah wawancara, Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca mengeluarkan jawaban yang menyiratkan bahwa dalam lagu bahasa kadang tidak penting-penting amat. Dalam jawaban itu dia juga menyebut-nyebut Sigur Ros. Cholil mengeluarkan jawaban terkait soal bahasa itu ketika ditanya oleh The Jakarta Post. Apakah dirinya merasa tidak masalah menulis lirik dalam bahasa Indonesia? Jawabannya kemudian keluar dengan enteng :
“Jika musik Anda cukup bagus, apapun bahasanya, orang-orang akan membeli album Anda. Lihat saja Sigur Ros.”
Cholil dan kawan-kawannya memang begitu. Mereka menggunakan bahasa dalam lagu sebagai media penyampaian pesan. Maka, tidak heran jika kemudian mereka lebih suka bersyair dalam bahasa Indonesia. Alasannya jelas: supaya pesannya cepat sampai. Namun, menilik dari jawabannya di atas, Cholil seperti menuturkan bahwa kadang bahasa hanyalah bagian dari musik itu sendiri, dan begitulah Sigur Ros. Jon ‘Jonsi’ Thor Birgisson Jon ‘Jonsi’ Thor Birgisson, Georg Holm, dan Orri Pall Dyrason memang lebih dari sekadar memainkan gitar, bass, dan drum. Mereka memainkan lebih dari itu. Lagu, bagi mereka, adalah kembali ke hakekatnya: tak lebih dari kumpulan nada (atau suara) yang dikomposisi dan dibangun oleh berbagai instrumen. Maka, jangan heran kalau Sigur Ros suka bawa seabrek musisi tambahan ke atas panggung. Jonsi bahkan tidak sekadar bernyanyi, atau bersyair, atau bertutur dengan mulutnya; dia mengeluarkan suara. Dalam mayoritas lagu bikinannya, Jonsi memang menggunakan bahasa ibunya, bahasa Islandia. Tapi, dalam kesempatan lainnya, mungkin dia hanya berdengung, menggerutu, atau entah bunyi-bunyian apalagi yang bisa dihasilkan mulutnya. Media kemudian melabeli cara bernyanyi yang seperti asal-asalan ini dengan bahasa “Hopelandic”. Toh, meski tidak paham-paham amat dengan bahasa Islandia atau bahasa bergumam karangan Jonsi itu, lagu Sigur Ros meng-ambience sampai ke mana-mana. Teori Cholil terbukti. Lagu memang kadang seringkali seperti itu. Bukti lainnya, lihat bagaimana banyak band asal Jepang punya penggemar tersendiri di Indonesia. Padahal, paham atau mengerti bahasa Jepang pun belum tentu. Bagaimana kemudian Sigur Ros menembus batas bahasa itulah yang kemudian jadi menarik. Alasannya bisa jadi klise, karena musik adalah bahasa universal. Tapi, hal serupa bisa terjadi di sepakbola sekalipun. Buktinya Wayne Rooney dan Carlos Tevez dulu asyik-asyik saja bekerja sama. Padahal yang satu tidak bisa bahasa Inggris, sementara yang lainnya grammar bahasa Inggris-nya saja buruk —boro-boro bisa bahasa Spanyol. Thom Yorke Bahasa jadi tidak penting-penting amat ketika sesuatu yang dihasilkan bernilai luar biasa. Rooney dan Tevez setidaknya membawa Manchester United memenangi tiga piala dalam dua tahun kebersamaan mereka. Sementara Sigur Ros menghasilkan musik, yang bagi saya, mengekspresikan pelarian.
“I think the most important thing about music is the sense of escape,” Thom Yorke.
Lagu-lagu Sigur Ros, layaknya band Skandinavia kebanyakan, dengan banyaknya ambience memberikan suasana tersendiri. Kadang bikin merenung, kadang bikin melompat-lompat. Entah kenapa, mungkin punya negeri yang dilintasi aurora adalah berkah, bisa duduk-duduk dengan nyamannya sambil menikmatinya ber-seliweran di atas langit sana, lalu lagu-lagu itu pun tercipta dengan sendirinya. Maka, tidak peduli seperti apapun liriknya, lagunya sendiri sudah mampu menghadirkan adegan-adegan di benak masing-masing pendengarnya. Salah seorang teman saya bahkan malas mencari apa arti dari lirik-lirik Sigur Ros. Baginya, punya interpretasi sendiri soal lagu-lagu mereka jauh lebih mengasyikkan. Vaka, salah satu lagu Sigur Ros, digambarkan dengan begitu dingin dan kelam. Entah apa yang dinyanyikan Jonsi, tapi video-nya seperti sudah menggambarkan adegan apa yang cocok untuk lagu itu: sebuah langit merah pekat, salju turun dengan warna hitam, sementara anak-anak bermain dengan senangnya di tengah tumpukan salju hitam itu… dengan mengenakan topeng gas. Absurd memang, tapi terasa pas. Adegan-adegan itu kemudian terbawa sampai penampilan di atas panggung di Jakarta beberapa hari lalu. Jonsi dan teman-temannya tidak hanya menyajikan lagu, tetapi juga sesuatu untuk memanjakan benak dan khayalan. Bahasa tidak hanya mereka terjemahkan lewat lagu, tetapi juga lewat visual. Dimulai dari tirai penutup yang jatuh ketika lagu kedua mendadak jadi menghentak, set panggung yang penuh lampu-lampu bohlam, sampai cahaya lampu yang berubah-ubah sesuai mood lagu. ‘Vaka’ yang mendung itu ditandai dengan warna lampu merah gelap, sementara ‘Hoppipolla’ yang begitu menyenangkan dan bikin berjingkrakan itu ditandai dengan percikan kembang api. Jonsi dan rekan-rekannya pun jarang menyapa penonton atau mengajak bicara dalam bahasa Indonesia –seperti layaknya musisi-musisi lain yang datang ke sini. Tapi, itu jadi tidak begitu penting. Bahasa yang dihasilkan oleh visual dan musik mereka sudah lebih dari itu.. sudah cukup membuat penontonnya terpana. (roz/doc) The Cave Man
Bukan suatu hal yang buruk ketika orang lain menilaimu kecil, karena hal yang terburuk ialah ketika Anda melakukan hal yang sama seperti apa yang telah mereka nyatakan (TCM). Jika musik Anda cukup bagus, apapun bahasanya, orang-orang akan membeli album Anda. Lihat saja Sigur Ros (CM). I think the most important thing about music is the sense of escape (TY).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H