Apa itu pehcun? Pada saat ini tentu banyak yang tidak tahu dan terheran-heran mendengar kata pehcun. Padahal, pehcun selama ratusan tahun merupakan pesta bergensi dan digelar tiap tahun di jakarta.
Menurut kamus besar bahasa indonesia terbitan depdikbud, pehcun diartikan hari raya cina, yang dirayakan dengan bersampan-sampan di kali dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa cina, pehcun berarti hari keseratus.
Pehcun dirayakan pada hari keseratus setelah imlek. Meski demikian, keramaian yang digelar dalam bentuk karnaval perahu dan sampan ini turut dirayakan secara meriah oleh berbagai golongan masyarakat dari etnis lainnya.
Orkes-orkes gambang kromong dan cokek serta lampion warna-warni membuat suasana malam menjadi terang benderang. Tidak ketinggalan musik tanjidor yang berasal dari portugisturut meramaikan. Sedangkan para biduanita yang ketika itu menggunakan kain kebaya melantunkan lagu-lagu sambil mengajak para hadirin ikut ngibing (joget).
Di tepi-tepi kali yang dilewati karnaval ini, para pedagang makanan mendirikan tenda dan gubuk. Gambang kromong dan cokek juga ikut manggung di tepi kali-kali yang dilewati pesta pehcun sepanjang tiga sampai enpat kilometer.
Entah bagaimana mulanya, perayaan dalam bentuk karnaval perahu ini sekaligus merupakan ajang untuk para muda-mudi mencari jodoh. Karena itu, pada sore hari sebelum menonton keramaian pehcun, para siauci (nona-nona) di kediamannya masing-masing sibuk berdandan serapi mungkin. Siapa tahu kalau ada enghiong (pemudah gagah) yang naksir.
Rupanya waktu itu pacaran berbeda dengan pacaran sekarang. Kalau kini muda-mudi cukup saling menyapa, pendakatan plus kedip-kedipan, tidak demikian pada zaman baheula. Proses pacarannya dimulai dengan saling lempar melempar hwatkwee alias kue apem dan kue tiongcuphia yang bentuknya seperti bola kecil. Kedua kue ini berisi kacang hijau yang telah dihaluskan.
Menurut keyakinan orang cina ketika itu, kedua kue ini menjadi simbol pengharepan. Artinya segala apa yang mulanya kecil, lama-lama menjadi besar.
Kalau dalam lempar-melempar kue ada kecocokan, dan mereka saling naksir, proses selanjutnya bisa merembet ke perjodohan. Meski si gadis telah jatuh cinta kepada si pemuda, tapi masih ada persyaratan yang harus dilalui. Si pemuda harus berkunjung ke rumah calon mertua. Saat kunjungan pertama ini, si pemuda harus membawa sepasang ikan bandeng. Kata orang cina, cialat atau celaka bagi calon mantu yang datang tanpa membawa sepasang bandeng, si pemuda dianggap tidak punya rasa malu dan hal yang memalukan bagi calon mertua di depan tetangganya. Jika hal itu terjadi, masalah perjodohan bisa runyam. Lamaran si pemuda sudah pasti ditolak, walau meminta seribu kali maaf. Karena pada zaman itu dalam urusan jodoh, orang tua punya otoritas mutlak dan sulit diganggu-gugat.
Keharusan membawa sepasang bandeng ke rumah calon mertua karena ikan jenis ini merupakan ikan paling mahal dan juga paling banyak durinya. Ini perlambang bahwa dalam hidup harus berani menghadapi banyak rintangan. Karena itu, dalam memilih kekasih kita harus hati-hati. Tidak seperti orang-orang zaman sekarang, yang terkesan "mempermainkan cinta" hanya untuk ciuman, seks lalu diakhiri dengan loe gue end. Memang gampang-gampang susahmenyatakan cinta, tapi bagian paling susah adalah mempertahankannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H