"Lagi perang kok malah cuti", satu kalimat sederhana tapi menohok. Dikeluarkan dari mulut seorang menteri yang ditujukan secara tepat kepada ketua PSSI saat ini, siapa lagi kalau bukan yang maha kuasa Edy Rahmayadi. Kalimat sakti tersebut keluar begitu saja dari mulut Imam Nahrowi ketika dihujani pertanyaan oleh para wartawan terkait izin cutinya Edy dalam rangka masa kampanye untuk mempersiapkan diri sebagai calon gubernur Sumatera Utara.
Imam Nahrowi yang sebenarnya jarang "ngomong", kali ini langsung dielu-elukan oleh sebagian orang (termasuk saya) sebagai ahli sindir yang hebat.
Sebenarnya, apa sih yang salah? Edy Rahmayadi juga seorang manusia yang penuh obsesi dan tujuan hidup yang tinggi, ga salah donkkalau dia ingin mencicipi sebuah jabatan yang berbeda. Mungkin (mungkinlowh ya) kalau dia jadi gubernur, beliau ingin hidup lebih mapan tanpa rongrongan supporter tim nasional yang setiap kali menerima kekalahan dari negara lain selalu menyudutkan Edy.
Atau mungkin, Edy sudah lelah untuk menjadi kambing hitam dari semakin merosotnya peringkat Indonesia di "chart" FIFA. Beliau juga ingin jadi orang yang ikut berteriak "turun..turun..turun" bersama-sama seluruh supporter di Stadion Gelora Bung Karno.
Nah pertanyaan sambungannya adalah, kalau memang begitu kemungkinan alasannya, kenapa dulu mau jadi ketua PSSI? Padahal posisi beliau di lingkup TNI juga sudah tergolong canggih. Jika kita menilik beberapa teori yang terkait loncatan langkah politik seseorang, maka jawabannya adalah popularitas. Bahkan bahasa kerennya, Self Branding. Satu konsep yang perlu dicermati setiap orang yang ingin terjun kedunia poliitk.
Apa itu self branding? Saya yakin sebagaian dari anda sudah pernah mendengar kata ini, yaitu kegiatan untuk mempopulerkan diri. Tujuan utama dari kegiatan promosi diri ini adalah untuk meraih citra atau image positif dari lingkungan maupun orang yang mengenalnya. Itu adalah bunyi teorinya, dimana ada penekanan citra positif yang nantinya akan berujung kepada reputasi yang bagus dimata pemilih.
Sialnya (sekali lagi ini menurut saya), citra yang ditampilkan oleh Edy kurang terlihat posisitif dimata pendukung sepakbola Indonesia, atau pendukung yang kelak menjadi pemilihnya di wilayah sumatera Utara.
Tidak ada "cerita" bagus yang terdengar dan dibangun oleh Edy Rahmayadi selama menjabat sebagai ketua PSSI beberapa tahun terakhir. Jika renovasi GBK ingin diakui olehnya, saya rasa bukan keputusan yang tepat. Ingat, GBK direnovasi terkait ASIAN GAMES 2018, dan ide ini datang dari tingkat teratas negara Indoensia, (sekali lagi) bukan dari PSSI.
Jika berbicara prestasi tim nasional dibawah kepemimpinan Edy, jawabannya setali tiga uang: ga ada yang berubah. Timnas kita maish saja kalah dari tim sekitaran ASEAN yang masih berlabel musuh berbuyutan.
Mau berbicara prestasi mendatangkan timnas negara lain? Oke, rombongan Islandia dan negara-negara lain memang pernah datang, tapi sekali lagi hanya sebagai acara entertainment semata. Kalau mau diteliti lebih mendalam, sebenarnya sedikit sekali keuntungan positif yang dapat diterima oleh negara kita.
Apakah efektif mengadakan coaching clinci yang hanya berjalan maksimal 10 jam, untuk mendongkrak pemain kita yang tertinggal 10 tahun dari negara yang sedang stress karena perang seperti Palestina? At least Palestina sudah pernah menyentuh partai kualifikasi akhir untuk masuk Piala Dunia.