Yup, Aubameyang resmi mendarat di London pada hari terakhir bursa transfer musim dingin musim 2017/2018. Apa yang spesial? Palingan hanya drama segitiga maut yang mengelilingi bersama dua gladiator bernama Oliver Giroud dan Michy Batsuayi.
Sisanya? Hanya imajinasi dari the gooners dan para pandit yang berlomba-lomba menerka seperti apa formasi paling pas untuk Arsenal mengarungi sisa musim ini. Apakah akan tampil berbeda dengan 4-2-4, yang jelas barisan depan akan berjejer nama-nama "sadis" macam Mesut Oezil, Alexander Lacazette hingga teman baru tapi lama Aubameyang, the one and only Henrikh Mikhitayrian.
Dalam 30 hari selama bulan Januari, khususnya berita sepakbola diisi oleh nama-nama beken dari Virgil Van Djik, Phillipe Coutinho, Alexis Sanchez, hingga nama-nama yang mulai terdengar lagi, setelah sempat menggema di musim panas lalu, layaknya nama Theo Walcott, Ross Barkley, hingga Aymeric Laporte. Menarik sih, menunggu berita yang tiap jam di update hanya untuk memastikan benar atau tidaknya sang pemain singgah di klub idola atau malah nyasar ke klub tetangga.
Jujur saja, memasuki menit-menit akhir penutupan, suasana justru semakin tegang namung mengasyikan. Perasaan yang sebenarnya paling ditunggu-tunggu adalah perasaan "tidak disangka" ketika seorang pemain yang sudah jelas arah pindahannya menuju sebuah rumah, malah tiba-tiba tertarik untuk melihat rumah lain dan memutuskan untuk menempati rumah tersbeut. Amazing feeling!
Tapi, anda pernah menyangka tidak, kalau perasaan amazing tersbeut terkadang lahir dari sebuah hoax yang disebarkan, dikelola, dan parahnya "diagung-agungkan" oleh beberapa media berbasis olahraga. Ga percaya? Mari kita lihat.
Media cetak, elektronik, hingga online (harusnya) selalu berlandaskan Press Responsibility atau tanggung jawab pers dan juga berkiblat kepada kode etik media yang telah disepakati. Sebenarnya dalam kode etik jurnalistik yang ada, selalu ada butir yang menyatakan bahwa berita yang diberikan haruslah berita yang benar dan sesuai dengan fakta.
Namun kenyataannya? Kalau semua berita sepak bola hanya berlandaskan fakta, dijamin ada sisi greget yang hilang. Bayangkan jika berita sepak bola hanya diisi oleh berita yang berlandaskan fakta saja. Dipastikan semua berita hanya menuliskan hasil-hasil pertandingan tanpa ada bumbu-bumbu rumor sebelum dan sesudah pertandingan.
Sedangkan dalam sebuah pertandingan, jika ada kartu merah didalamnya pasti cerita yang ditampikan oleh pemberitaan media akan lebih seru jika ada bumbu-bumbu perkelahian hingga unfinished business yang belum kelar setelah pertandingan. Belum lagi ramuan dan prakiraan formasi yang sering dijadikan alat "tebak-tebakan" oleh media, yang membuat pembaca jadi ikut berperan di dalamnya.
Sisi lain berita sepakbola yang membutuhkanHoax untuk sisi keseruannya, adalah dalam masa bursa transfer. Jika media mutlak berkiblat untuk tidak menulis hoax, maka dipastikan tidak ada lagi rumor si pemain X pindah ke klub Y. Semua hanya akan diberitakan jika sang pemain sudah berjabat tangan dengan presiden klub yang dituju.
Tidak ada lagi "tebak-tebakan" kemana Cristiano Ronaldo akan berlabuh di musim depan, tidak ada lagi berita siapa yang cocok menggantikan posisi Lionel Messi di Barcelona kelak, hingga tidak ada lagi berita mengarang indah formasi ideal sebuah klub yang dihiasi oleh sebelas pemain baru (yang jelas-jelas cuma) fantasi sang jurnalis agar tulisannya menyangkut dihati penulis.
Cerita lain sepakbola yang juga harus berterimakasih kepada hoax adalah cerita psywar sebelum pertandingan. Dalam konferensi pers, para wartawan berlomba-lomba mengintepretasi semua kalimat yang disampaikan oleh pelatih yang (mungkin) ditujukan untuk pelatih lawan. Namun hampir seluruh psywar merupakan kalimat yang tertata rapih dan maknanya tersirat bukan tersurat dalam kalimat-kalimat yang keluar dari mulut pelatih.