Lihat ke Halaman Asli

Eropa Krisis, Indonesia Bangkit

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Indonesia optimis, sangat sepakat bila dikatakan Indonesia harus optimis. Ditengah goncangan krisis global yang melanda Amerika Serikat (AS), juga krisis utang Eropa yang semakin membengkak, Indonesia justru memiliki peluang “emas” untukmenjadi pemimpin ekonomi dunia.

Sofyan S Harahap dalam artikelnya “Peluang Indonesia dalam Krisis Keuangan Global” mengibaratkan krisis global ini seperti sebuah gempa yang menggoyang (shaking) sebuah wadah yang mengakibatkan posisi dan kedudukan isi di dalamnya berubah. Indonesia yang sebelumnya berada diposisi kurang bagus, sebagai anggota G-20 tentunya bisa memanfa’atkan momentum ‘gempa’ tersebut untuk bergerak maju ke posisi yang lebih baik dan strategis. Bahkan Indonesia bisa menggunakan peluang “emas” ini untuk menjadi –meminjam bahasa sofyan– pemimpin dunia.

Pada akhir tahun 2011 lalu, lembaga pemeringkat, Fitch Ratings menaikkan peringkat Indonesia dari ‘BB+’ menjadi ‘BBB-’ atau dengan kata lain Indonesia masuk “investment grade” yang berarti menempatkan Indonesia ke level setara dengan Negara-negara maju, menyalip posisi Filipina yang sebelumnya berada diatas Indonesia. Proyeksi Asia Development Bank (ADB) juga mensinyalir hal yang positif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012-2013. ADB memprediksikan, dengan melambatnya laju perekonomian global pada saat ini berpotensi menumbuhkan ekonomi Indonesia sebesar 6,4 persen. Dan pada tahun 2013 diprediksi akan naik menjadi 6,7 persen. Hal ini disebabkan pertumbuhan di sektor perdagangan yang sudah pulih, ditambah lagi tingginya iklim investasi di Indonesia saat ini.

Selain itu, untuk lebih menunjukkan bahwa Indonesia memang harus (wajib) bersikap optimis, adalah datangnya apresiasi dari dunia internasional mengenai kondisi ekonomi Indonesia yang dinilai stabil dan kian membaik. Salah satunya, selandia baru yang menilai Indonesia sangat berpeluang di beberapa sektor diantaranya sektor pangan, panas bumi, penerbangan dan pendidikan. Indonesia, baru-baru ini juga mendapatkan tawaran yang sangat bagus dari Kazakhstan. Pemerintah Kazakhstan memberikan penawaran kepada Pertamina untuk berladang minyak di daerah tersebut. Kazakhstan merupakan daerah dengan potensi minyaknya (untuk tahun ini) mencapai 1,6 juta barel. Peluang yang cukup bagus bagi Indonesia tentunya.

Memang benar, di sisi ekspor Indonesia terbilang melemah atau menurun. Akan tetapi hal itu tidak lah terlalu berpengaruh signifikan. Senior Economist Standard Chartered Bank, Eric Sugandi, seperti ditulis Bisnis.com (edisi 14/6/2012) menerangkan walaupun di sektor ekspor mengalami penurunan, neraca perdagangan Indonesia tetap akan surplus hingga akhir tahun 2012 oleh sebab impor juga turun akibat melemahnya laju ekonomi dunia. Indonesia bahkan bersama India memasang target nilai perdagangan pada tahun 2015 mencapai US$ 30-40 milyar. Suatu target yang cukup optimis, dan (lagi-lagi) Indonesia harus optimis.

Namun, sayangnya, realitas tersebut tidak lah terlalu tampak bagi masyarakat Indonesia. Faktornya, media massa di Indonesia lebih cenderung mengekspos sisi politik secara besar-besaran dibandingkan sisi ekonomi, yang kemudian berakibat pada “tenggelamnya” wacana-wacana seputar ekonomi. Sebagai contoh, berita tentang Indonesia yang masuk “investment grade” pada Desember 2011, kalah ekspos dibanding berita terkait kasus-kasus korupsi proyek wisma atlet yang melibatkan beberapa politisi Partai Demokrat. Porsi yang tidak seimbang ini mengakibatkan prestasi ekonomi yang menurut penulis sangat bagus itu kehilangan ‘aura’nya. Sementara ekspos tentang sisi politik lebih sering mengundang keluh kesah, emosi, amarah, dan segala hal negatif yang berpuncak pada munculnya sikap pesimistis akibat kasus demi kasus politik dan korupsi yang dipandang kian memburuk dari tahun ke tahun. Indonesia pun dalam pandagan mereka menjadi semakin suram tanpa sedikit pun menyisakan asa yang positif.

Parahnya, porsi yang sedikit terkait pemberitaan ekonomi itu pun cenderung tidak jauh-jauh dari persoalan hutang luar negeri yang katanya membengkak, ancaman dari China dalam pentas pasar bebas (ACFTA), dan hal negatif lainnya yang menurut hemat penulis, kesumaanya itutidak lebih dari sebatas reaksi politis atas kemelut politik yang terjadi di pemerintahan yang kemudian diekspos ke media massa. Dengan kata lain, realitas yang dipaparkan media bukan menjadi fakta yang harus menenggelamkan rasa optimisme kita untuk selalu bergerak maju. Kontrol media tentu dibutuhkan, tapi menumbuhkan sikap optimis masyarakat menjadi catatan yang juga tidak kalah penting.

Disini berarti, harus ada penerapan pola komunikasi yang bagus antara pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan sistem ekonomi di Indonesia, pelaku ekonomi, masyarakat dan media massa sebagai bagian penting dalam mempubilkasikan kepada masyarakat –untuk menumbuhkan sikap optimis tadi. Karena berbicara Indonesia yang begitu besar dan kompleks tidak harusnya melulu soal politik. Masih banyak hal penting lain yang membutuhkan perhatian dan sikap optimis seluruh masyarakat, salah satunya sektor ekonomi.

Tak dapat dipungkiri memang, berbicara soal kondisi ekonomi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari urusan politik. Berbicara ekonomi akan selalu bersinggungan dengan politik. Politik memberikan andil bagi proses pengambilan kebijakan pemerintah dalam menentukan kearah mana ekonomi Negara ini (Indonesia) akan dibawa. Ke dalam dasar jurang kah, ke sebuah dataran yang datar-datar saja atau berusaha dibawa naik ke suatu tempat yang lebih tinggi lagi. Dalam hal ini, semuanya akan sangat tergantung pada kebijakan politik pemerintah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat kirisi tahun 2008 (dan masih relevan dengan konteks sekarang) mengemukakan sepuluh langkah untuk menghadapi krisis ekonomi di Indonesia. Tiga diantarannya, pertama, dengan memupuk sikap optimis dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap menjaga keparcayaan masyarakat. Kedua, semua kalangan diminta menghindari sikap ego sentris dan memandang remeh masalah yang dihadapi, dan ketiga, semua pihak diminta melakukan komunikasi yang tepat dan baik pada masyarakat tak hanya pemerintah dan kalangan pengusaha serta perbankan. Sementara Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa menegaskan yang paling penting sebenarnya dalam mencegah kiris sekarang adalah dengan mengamankan momentum pertumbuhan –ekonomi.

Maka, kesimpulan positif yang dapat diambil dari pendapat kedua tokoh penting nasional ini adalah bahwasanya hal baik sebenarnya ada pada kita semua. Hanya ada dua pilihan, berkeinginan agar perekonomian kita maju atau tidak. Apabila berkeinginan untuk maju, mari bersama-sama saling membangun; bersinergi dengan pemerintah, para pengusaha, pelaku perbankan, dan seluruh lapisan masyarakat, terutama generasi muda bangsa. Pikirkan yang terbaik dan ambil peluang dengan memanfa’atkan momentum ‘gempa’ ini secara tepat dan sempurna, serta berusaha membangun pola komunikasi sebaik mungkin satu sama lain, termasuk media massa dalam mempublis berita atau siaran pers haruslah dapat memunculkan sikap optimis masyarakat. Namun apabila tidak, mari bersama-sama pula saling menghancurkan dengan menebar ego sentrisme yang berbasis kepentingan individu atau kelompok. Sehingga Negara ini benar-benar berada dalam kehancuran.

Pilihan pertama tentu menjadi pilihan yang sangat diharapkan oleh kita semua sebagai bangsa yang masih punya asa untuk bergerak kearah lebih maju. Mari bersama memajukan bangsa, karena Indonesia harus optimis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline