Lihat ke Halaman Asli

Pesantren Waria; Realitas Lain di Balik Gempa Jogja 2006

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pondok Pesantren Khusus Waria Senin-Kamis, begitulah yang tertulis pada plang sebuah bagunan yang tidak lain adalah sentral kegiatan beribadah komunitas waria. Secara geografis, Letaknya berada di sebelah timur tidak jauh dari Pusat perbelanjaan Malioboro. Tepatnya di Desa Notoyudan Gg II/1294, RT 85 RW 24 Gedongtengen Yogyakarta.

Dari pinggir jalan raya Letjend Suprapto, posisi bangunan itu terlihat seperti layaknya rumah biasa. Menghadap ke utara dengan arsitektur ala rumah pribadi. Tidak ada suatu ciri khas yang mengidentikkan bangunan tersebut sebuah Pondok Pesantren, dimana kegiatan keagamaan kaum waria berpusat disana. Terkecuali hanya sebatas plang bermaterikan gabus dengan kombinasi warna kuning-hijau-merah sebagai sebuah penanda.

Jalur Jalan berupa gang sempit dan posisi yang agak menurun sekitar 1,5 meter ke bawah membuat reporter Sinergia harus ekstra pelan dan hati-hati dalam mengendarai motor ke area lokasi Ponpes. Tidak sampai 10 meter dari mulut jalan raya, pas dibibir turunan jalan, posisi kami sudah persis di depan podok pesantren.

Melihat pintu rumah itu (pesantren, red.) terbuka, kamipun langsung mengetuk pintu. Hampir 3 menit menunggu dan 3 kali mengetuk pintu, terlihat gadis kecil kira-kira berumur 9 tahunan keluar dari dalam rumah seraya menyapa dengan lembut, "cari Ibu ya mas?". Walau mulanya agak sedikit ragu dengan kata "ibu" tadi, akhirnya kami pun lantas menyahut "iya dek, ada?", "bentar ya mas".

Kemudian terdengar suara gadis kecil itu memanggil seseorang dengan sebutan Ibu. Selang 1 menit, sesosok bertubuh besar dan berpenampilan serba feminine pun keluar dari dalam. Itulah mungkin jawaban dari kata "ibu" tadi, yang tidak lain adalah Maryani. Pendiri sekaligus pengasuh Pondok pesantren khusus waria itupun menyapa dan mempersilahkan kami masuk.

Dengan santai kamipun memulai perbincangan. Sekeliling ruangan terlihat atribut-atribut islam seperti kaligrafi dan juga ada foto seorang laki-laki dengan kopyah putih kokoh bersurban serta disampingnya ada seorang perempuan yang menurut keterangan Maryani tidak lain adalah KH. Hamrulie Harun, M.Sc. beserta istriya.

Beliau adalah figur kyai idola kaum waria yang telah menginspirasi berdirinya pondok pesantren khusus waria senin-kamis. Lewat Pengajian mujahadah al-Fatahnya yang tidak mengenal perbedaan status sosial manusia, Maryani merasa nyaman berada dalam bimbingan spiritual sang kyai. "saya seorang waria yang mengikuti pengajian mujahadah al-fatah yang diadakan oleh pak haji hamroli yang memiliki tiga ribu jamaah lebih, dan ternyata yang waria saya sendiri, kok saya masih diterima". Tutur Maryani.

Perasaan seperti itulah yang kemudian membuat Maryani tergugah untuk mengajak teman-teman sesama waria dan membuat suatu pengajian khusus untuk waria. Maka, diadakanlah pengajian khusus untuk waria itu pada setiap minggu pon yang juga diasuh oleh kyai Hamrulie. "Yang datang kadang-kadang satu atau dua orang."

Dalam kesempatan lain, Sonya, salah satu pengurus Ponpes sekaligus Kordinator Divisi Pengorganisasian Komunitas Waria PKBI Yogyakarta yang pada saat itu juga memiliki peranan penting dalam hal advokasi berdirinya pesantren waria menangatakannya dengan sebutan Pondok Pengajian. "Tiap bulan sekali kita melaksanakan pengajian. Nah, pertama kita mengadakan pengajian itu bisa mencapai ratusan jama'ah", tuturnya dengan nada dan gayanya yang khas. Angka tersebut mungkin berbeda jauh dengan yang dikatakan Maryani. Namun, terlepas dari persoalan angka-angka itu, hal ini jelas mengindikasikan bahwa pengajian sebelumya memang pernah ada.

"Pertama pengajian ini saya adakan di tempat tinggal saya di Surokarsan. Tetapi akhirnya ketika sudah berjalan ekonomi saya hancur total, dan harta saya habis. Dan saya memutuskan untuk kembali ke daerah," lanjut Maryani. Fenomena tersebut kemudian membuat aktifitas pegajian sempat vakum beberapa saat.

Akan tetapi, tidak lama setelahnya, gempa jogja pada 27 Mei 2006 yang sampai saat ini masih menyisakan duka itu ternyata memberikan cerita lain bagi komunitas waria. Dibalik kisah duka itu, ada sisi cerita lain yang menjadi jembatan sejarah bagi berdirinya pondok pesantren khusus waria senen-kamis. "Dan saya berinisiatif untuk mengajak teman-teman waria dari kota Jakarta, Surabaya dan dari daerah-daerah lainnya untuk berdoa bersama, ternyata banyak yang datang." Antusias dan solidaritas antar sesama waria pada waktu itu memberikan energi tersendiri bagi orang yang pada masa kecilnya bergama katholik ini. "Akhirnya saya berbicara kepada pak haji hamroli untuk membuka forum pesantren waria, saya mengadakan pengajian khusus waria."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline