JAM dinding di ruangan Gubernur SulawesiPierre J.B. de Perez berdentang 12 kali. Pemain violin, tambur, dan biola pun berkesempatan beristirahat. Beberapa jenak, keheningan memenuhi Governor Quarters, ruangan utama di sebelah utara Benteng Panyyua, Fort Rotterdam.
Sang gubernur lalu berdiri. Di tangan kanannya sebuah cawan berisi anggur merah diangkat hingga tepat di depan lehernya. Lalu dengan santun, dua patah kata mengalir dari bibirnya. Dia meminta perhatian sekitar 200-an hadirin, tetamunya malam itu.
Mata tetamu yang mulai lelah karena masih melek sejak matahari terbenam di ufuk pantai di depan Fort Rotterdam, menyatu ke lelaki tegap subur dengan tuksedo hitam itu.
Gerak mereka mulai melambat. Tapi mereka tahu, inilah acara pamungkas. Pesta segera berakhir setelah belasan jenis makanan berbumbu keras dari daging, aneka sea food, roti panggang, keju, dan panganan ringan, dan aneka jenis minuman sudah melewati kerongkongan, diselingi basa-basi dan tawa yang mengalir dari mulut mereka.
Seremoni yang digelar dengan standing party itu sebagai pertanda penghormatan kepada Raja Belanda, pegawai Hindia-Belanda, serta penduduknya yang setia dan hormat kepada Oranje Huis, kebesaran Oranje, simbol kekuasaan ala Nederland, penguasa Hindia Belanda, satu abad lebih.
Suasana hening kembali. Gubernur de Perez lalu mengambil sebuah kertas coklat bersegel. Dia pun membacasurat kebijakan baru RajaBelanda tentang perubahan Gouverneur van Makassar menjadiGouverneur van Celebes en Onderhoorigheden (Gubernur Sulawesi dan tanah taklukannya). Pembacaan surat tepat malam tahun baru tanggal 1 Januari 1847 dini hari itu baru pembukaan.
Sekadar diketahui, Javaansche Courant, surat kabar bahasa Belanda edisi Zaterdag, 22 Mei 1847, yang melukiskan cerita menjelang pengumuman kebijakan ekonomi, pedagangan baru itu tak hanya menggambarkan suasana di dalam benteng yang dipenuhi pesta. Laporan dari luar benteng yang dipenuhi peluh tak kalah menariknya untuk disimak;
“… Desember adalah bulan yang penting bagi Bandar Makassar, karena di bulan ini kapal dan perahu dari pelabuhandi sebelah barat mengunjungi Makassar dengan memanfaatkan angina muson baratlaut. Namun pada akhir Desember 1846 itu, kapal dan perahu yang dating hanya berlabuh di luar kawasan pelabuhan…”
Begitulah pesta tutup tahun digelar di dekat Bandar Makassar, di medio abad ke-19, era di mana Makassar memasuki dekade terakhir puncak peradaban multiras dan bangsa yang menjadikannya sebagai kota bandar yang diperhitungkan setelah Batavia dan Tumasek, Singapura.
Seperti ingin memutar waktu, 160 tahun kemudian, tepatnya, mulai Agustus 2006 hingga awal November 2006, otoritas pemerintah Kota Makassar, kembali mencoba membangkitkan semangat puncak peradaban akhir abad 19 itu, dengan Festival Internasional Olahraga Bahari (FOIB) yang dirangkaikan dengan Tourism Indonesian Mart Expo (TIME) 2006.
Aneka pesta dalam kemasan modern dikemas. Panitia lokal dan nasional yang dimotori Kementerian Pemuda dan Olahraga dilibatkan. Sedikitnya terdapat 45 item festival digelar untuk menyemarakkan hajatan untuk membangkitkan lesunya kunjungan wisata di Sulsel.
Bahari menjadi tema utama festival. Mulai dari reli foto hingga kursus pamong cinta bahari digelar. Dari lomba perahu bermesin temple denan nahkoda nelayan pencari kepiting hingga rely Yacht yang dengan nakhoda para direktur perusahaan besar dari belasan negara ikut meramaikan lomba.
Dari festival memancing hingga loma penyajian makanan seafood khas Sulsel jadi tontotan dan menguatkan citra Makassar memang pantasmenjadi destinasi wisata.
Tak sekadar mengampilkan aspek wisata, semangat back to naturefestival ini juga mengedepankan aspekmenjaga budaya petualang dan pendidikan. Dari rangkaian seminar dan diskusi soal budaya bahari hingga napak tilas expedisi ilmuan alam Inggris, Alfred Russel Wallace (1823-1913) yang memetakan distribusi hewan khas antara Kalimantan, Bali, Lombok, dan Sulawesidengan garis imajiner (imaginary “Wallace” line) menjadi bagian penting dari festival ini
Dan Benteng panyyua, Fort Rotterdam, pusat perwakilan kerajaan Belanda yang bebentuk panyyu (kura-kura raksasa), benteng pertahanan yang pernah menjadi simbol kejayaan bahari Makassar, bahkan Sulawesi jadi pusat kegiatan.
Laiknya siklus kura-kura yang lahir di darat, besar dan hidup di laut, lalu kembali biak di darat, festival ini digelar untuk membangkitkan semangat cinta bahri, cinta peradaban.(th@mzil tualle)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H