Lihat ke Halaman Asli

Nabi Muhammad Saja (pernah) Bohong

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

SEBAGAI manusia, usia 40 tahun, seharusnya dalam kondisi konsis. Jika pada usia itu, lanjut pendiri pondok pesantren Azzaiytun Indramayu, Dr Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, -- dalam tauziyah Qalbiyah Jumat 8 Agustus 2003 --, manusia masih berbohong, maka amalannya itu tak akan mendapat ridha; amalun salihun la yardlahu.

Manusia yang sudah berusia 40 tahun namun masih tidak konsisten dengan nilai-nilai kebaikan, dia akan menjadi manusia hancur. Kenapa? Dalam psikologi, setelah usia 40 tahun, manusia sudah tidak dituntut konsistensi semata, tapi sudah harus wise, bijak. Konsistensi secara sederhana bisa diistilahkan dengan kejujuran.

Dan jujur bukan milik manusia usia 40 tahun belaka. Sejak anak mulai mengenal nilai, kejujuran sudah harus ditanamkan. Bahkan, merujuk konsep long life learning, yang dikemukakan Rasullullah Muhammad, nilai mulia tersebut diajarkan sepanjang masa, sejak masih di dalam kandungan ibu, mahdii, hingga ke kuburan, lahdii.

Jika pada usia 40, seseorang masih sering berdusta (kidzib), maka dia akan terjerumus pada perbuatan yang bermakna kejahatan.

Rasulullah pernah memberi nasihat kepada seorang muallaf yang baru saja mengucapkan syahadatain. Dia meminta nasihat. Nabi memberinya pesan pendek, jangan berbohong, la tahdzab. Pesan singkat itu bahkan diulangi hingga tiga kali. Pesan sederhana nan konsisten.

Dalam situasi tertentu, bohong sebagai strategi meraih kebaikan, bisa dibenarkan. Saat nabi melindungi seorang muslim dari ancaman pembunuhan kaum kafir, dalam sebuah hadist, rasulullah dikisahkan pernah “berbohong.”

Saat itu Nabi yang duduk di bawah sebuah pohon ditanya, apakah dia melihat seorang berlalu di dekatnya. “Sejak saya berdiri di sini, saya tak melihat siapa-siapa kecuali Anda,” jawab Rasulullah yang menyambut si pembunuh dengan berdiri.

Para ulama pun kemudian mengistilahkannya dengan ‘bohong kecil” yang bermanfaat dalam kondisi darurat dan untuk kemaslahatan yang lebih besar.

Apakah itu, menjadi rujukan untuk tidak jujur?Tidak! Meski dia terbilang dosa kecil, namun jika bertumpuk dan selalu, tentu akan menjadi hal besar. Ahli konseling punya prinsip, bohong pertama akan diikuti bohong-bohong lanjutan.

Kunci sukses seseorang, bukan dari hal besar melainkan hal kecil. Dasar hukum Islam, usul fiqhi, telah mengajarkan satu kaidah hukum yang kongret. Apa yang besarnya diharamkan, maka kecilnya juga haram.

Pertanyaannya, masih seperti dikemukakan AS Panji Gumilang, jika di usia 40 tahun masih ada “kebiasan” seseorang berbohong, lantas bagaimana mengobatinya?

Setiap penyakit ada obatnya. Kullu dain dawaaun, demikian kata nabi.

Bohong dikategorikan penyakit hati. Obat berbohong adalah dari diri orang itu. Kemauan untuk membiasakan tidak mengulanginya adalah cara efektif. Atau setidaknya belajar untuk memilih diam.

Pelajaran ini bisa dimulai dari sendiri. Jika merasa sudah terjebak satu kebohongan pada orang lain, atau setidaknya diri sendiri cepatlah mengakuinya. Ya, akuilah bahwa kita berbohong! Itu lebih mulia dari pada memendamnya, dan akan menjadi dasar untukkebohongan-kebohongan berikutnya.@

Thamzil Thahir

Tabaria, 5 April 2007

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline