Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Dahlan

TERVERIFIKASI

Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Makna Kemerdekaan bagi Penjual Bendera Merah Putih

Diperbarui: 12 Agustus 2018   03:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : dokumentasi Koleksi Pribadi

Penjual bendera itu tertidur. Tampaknya kecapean setelah berkeliling menjajakan dagangan musiman. Bulan Agustus bendera merah putih berseleweran di seluruh kota dan desa. Bendera itu belum lagi dikibarkan masih diatas gerobak. 

Bulan ini mereka menjual bendera, entah bulan bulan sebelumnya. Itulah yang bisa dilakukan karena pekerjaan tetap tidak juga didapatkan. Terpaksa berjalan kaki dengan gerobak menjual bendera. Padahal, bendera merah putih itu sangat sakral namun bagi penjual musiman biasa saja. Tiada kesan sedikitpun yang penting bendera terjual habis.

Demikianlah gambaran faktual rakyat Indonesia. Pekerjaan musiman ini tentu tidak menjamin masa depan cerah. Tidak usahlah bicara politik atau tidak sempat mereka memikirkan kapan bisa punya rumah pribadi, bagaimana menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi dan bagaimaa pula memanaskan darpur setiap hari? Itulah persoalan hidup orang kecil ditengah gagahnya kibaran bendera merah putih. Inikah makna sejati kemerdekaan bagi si penjual bendera merah putih?

Mengibarkan Bendera Merah Putih di depan rumah nampaknya sudah menjadi kewajiban moral Rakyat Indonesia. Setiap memasuki bulan Agustus seluruh nusantara di ronai warna merah putih. 

Apakah itu di kantor, di apartemen, di rumah gubuk kontrakan dan di jalan jalan umbul umbul merah putih berkibar meriah. Kemudian timbul pertanyaan hanya segitu sajakah Indonesia memaknai Proklamasi kemerdekaan. Apakah hanya dengan mengibarkan bendera sudah cukup? Tentu tidak. Kibaran bendera merah putih pada hakekatnya adalah simbol peringatan bahwa Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945,

 73 tahun telah berlalu, apakah sudah semua rakyat 250 juta menikmati kemerdekaan. Menikmati dalam artian tidak tidak dijajah secara geografis tentu jawaban kompak akan terdengar. 

Merdeka dalam bidang lain seperti keleuluasan ekonomi apakah kita telah "merdeka se merdekanya"? Biarlah para tuan dan nyonya penguasa pemerintahan menjawab. 

Presiden silih berganti dan rakyat yang itu itu saja yang berawal dalam kondisi perekonomian di kelas menengah bawah, sampai saat ini tidak ada perubahan bermakna. Kalaupun ada rakyat yang berhasil mengubah hidupnya lebih banyak karena mereka ber hijrah dengan kemauan dan kemampuan sendiri.

Kemiskinan struktural itu masih meruak di nusantara. Di sinilah seharusnya para penguasa nan-silih berganti itu memikirkan dan kemudian bertindak bagaimana cara secara makro ekonomi dan mikro ekonomi mampu mengangkat saudara dhuafa itu dari jurang kemiskinan. 

Mereka tetap mengibarkan bendera di depan rumah. Memandang trenyuh sang merah putih dan kembali bertanya (entah kepada siapa) apakah makna kemerdekaan ini juga merupakan hak kami ? Entah apa yang terjadi di tengah kekayaan sumber alam, subur dan gemburnya tanah air, kenapa kemiskinan itu masih melanda negeri.

Sumber : dokumentasi Koleksi Pribadi

Bisakah korupsi disalahkan atau teroris dijadikan biang. Bolehkan kondisi ini disebabkan salah urus, ataukah para elit itu sibuk dengan dirinya sendiri dalam membesarkan partai politik. Entahlah. 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline