Peluit mahasiswa itu menghentakkan suasana. Nyaring suara dalam gedung nan hening. Semua mata terlempar dari mana sumber suara nyaring. Oh dia seorang mahasiswa. Sembari mengacungkan tangan keatas terlihat satu berkas warna kuning. Serta merta geraka mahaiswa ini dinamakan kartu kuning untuk sang penguasa.
sumber : tribune news
Peluit bukan sekedar bunyi namun ada makna dibalik itu semua. Benda yang acap tergantung bertali di saku wasit pertandingan olahraga dan polisi lalu lintas. Tampaknya wasit lebih sering meniupkan peluit dibanding bapak polisi.
Pasalnya pelanggaran acap sekali terjadi di pertandingan yang berdurasi 2x 45 menit untuk bola sepak. Sedangkan Polisi lalu lintas agak hemat menggunakan benda ini bersebab pengguna jalan raya agaknya sudah mulai tertib.
Ketika mahasiswa meniup peluit ada apa rupanya. Tampaknya unjuk rasa ini sudah dipersiapkan untuk moment tertentu. Betapa tidak, mana ada mahasiswa yang membawa peluit dalam saku setiap hari kecuali dia merangkap sebagai pelatih pramuka atau pelatih olahraga. Jadi patut di duga sang mahasiswa telah mempersiapkan map warna kuning pula. Akhirnya rencana matang tersebut terlaksana dengan baik dan berhasil mencengangkan semua orang.
Peluit dan kartu kuning atau kartu merah adalah padanan sebagai satu kelengkapan yang tidak terpisahkan. Peluit tanpa kartu kuning bisa juga terjadi pada acara baris berbaris. Namun bagi wasit dan polisi lalu lintas, mereka tidak akan pernah memisahkan 2 makhluk yang di takuti penggemar pelanggaran. Soal mahasiswa dan Pluit plus Kartu Kuning sudah berlalu kini ditunggu kelanjutan kisah selebarasi di Papua apakah aka ada kejutan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H