Seperti dilansir dari KOMPAS.com (19/9/2017) Dalam beberapa bulan terakhir, Komisi pemberantasan Korupsi ( KPK) semakin gencar melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di sejumlah daerah. Sepanjang 2017 ini, dari berbagai operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, ada 5 kepala daerah yang terjaring atas dugaan tindak pidana korupsi. Mereka kini berstatus tersangka KPK. Pada September 2017 ini saja, ada dua orang kepala daerah yang harus "pindah kantor" ke Kuningan, Jakarta Selatan.
Pada 2016, ada 10 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Secara keseluruhan, sejak 2004 hingga Juni 2017, data statistik KPK menyebutkan, ada 78 kepala derah yang berurusan dengan KPK. Rinciannya, 18 orang gubernur dan 60 orang wali kota atau bupati dan wakil. Inilah duet maut dua P menggarap APBD. Siapa lagi kalau bukan Oknum Penguasa dan Oknum Pengusaha (rekanan). Bukannya duel malah menyebabkan maut justru duet menyebabkan kerugian negara secara tidak langsung maut menghantarkan mereka dari sisi hukuman sosial masyarakat.
Berdasarkan UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:
- Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan perekonomian negara (pasal 2).
- Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/ kedudukan yang dapat merugikan keuangan/ kedudukan yang dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara pasal 3)
- Kelompok delik penyuapan (pasal 5,6, dan 11)
- Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10)
- Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12)
- Delik yang berkaitan dengan pemborongan (pasal 7)
- Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C)
Selama ada uang di kas negara bisa jadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat tampaknya tidak akan pernah habis. Efek jera berupa hukuman kurungan tidak menjadikan mereka takut menguras kekayaan Negara. Dari bebrapa data operasi tangkap tangan selalu saja ada oknum penguasa dan oknum pengusaha yang sedang transaksi terkait program kerja atau berupa izin usaha.
Beda tipis antara Penguasa dengan Pengusaha Refleksi kemerdekaan RI ke- 72, yaitu membandingkan antara proses metaformose Penguasa menjadi Pengusaha dinegeri sendiri dengan perubahan status sosial dari Pengusaha menjadi Penguasa di negeri orang.
Tradisi di negara Amerika Serikat seorang Pengusaha sukses mencalonkan diri menjadi Presiden AS. Dalam merebut hati pemilih maka didalam prosesi kampanye menggunakan dana pribadi. Tidak mendapatkan sponsor dari siapaun apalagi dari Pengusaha lainnya. Toh dia sudah sanggup membiayai seluruh anggaran kampanye. Akhirnya terpilih menjadi Presiden dan menyandang gelar Penguasa.
Artinya Presiden terpilih itu sebelumnya sudah kaya raya baru masuk kedunia politik. Dalam posisi Penguasa maka potensi untuk melakukan korupsi uang negara menjadi kecil sekali, karena sudah Beliau sudah tajir, niat nya hanya untuk mengabdi kepada negara.
Sebaliknya di negeri ini, seseorang berusaha mati matian menjadi Penguasa. Mencari sponsor sekelompok orang berduit untuk membantu membiayai prosesi kampanye. Deal deal tentu dicanangkan, nanti kalau berhasil jadi penguasa, maka imbalan mengikutinya. Jabatan Penguasa yang diincar adalah jabatan Presiden, Gubernur dan turunannya. Kemudian setelah berhasil menjadi Penguasa, maka pertama membalas jasa sponsor, kemudian melakukan tindakan memperkaya diri sendiri dan keluarga.
Tindakan itu tidak lain adalah mengunakan uang negara APBN, APBD dan fasilitas pejabat secara tidak syah. Kita bahas terlebih dahulu mekanisme Pengusaha menjadi Penguasa. Pengusaha sudah kaya, dia tidak akan korupsi ketika menjabat menjadi Penguasa walaupun kesempatan itu ada.
Terbukti huruf dari kata Pengusaha yaitu H A, malah hilang ketika menjadi Penguasa. Artinya HA = Harta nya di sumbangkan untuk negara. Kemudian bagaimana dengan Penguasa yang menjadi Pengusaha. Pasti 2 huruf dari kata Penguasa bertambah huruf HA sehingga berubahlah kata itu menjadi Pengusaha. Huruf HA = harta yang didapatkan selama menjadi Penguasa melalui upaya memperkaya diri sendiri alias korupsi. Beda tipis dan beda niat
Salamsalaman