Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Dahlan

TERVERIFIKASI

Saya seorang Purnawirawan Polri. Saat ini aktif memberikan kuliah. Profesi Jurnalis, Penulis produktif telah menerbitkan 24 buku. Organisasi ILUNI Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Presiden Amerika Serikat dari Pengusaha Jadi Penguasa, di Indonesia Sebaliknya

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1352075478764455715

[caption id="attachment_207539" align="aligncenter" width="300" caption="Kedua kandidat dalam pilpres di Amerika   (sumber : radioaustralia.net.au)"][/caption] Perbedaan utama dari kandidat Presiden di Amerika dengan Calon Presiden Indonesia adalah soal harta awal.  Ketika mencalonkan diri menjadi Presiden Amerika, warganya adalah orang orang kaya.  Beliau beliau itu konglomerat sehingga ketika kampanye mereka menggunakan duit sendiri.  Berbeda dengan negeri kita tercinta, calon presiden berasal dari orang biasa, bukanlah orang kaya tetapi berteman dengan orang berduit.  Jadi waktu dia ingin menang,  maka dana yang digunakan untuk kampanye adalah " bantuan" teman teman nya konglomerat itu Nah apa jadinya ketika Presiden terpilih yang berhutang budi kepada konglomerat.  Anda bisa bayangkan, hutang itu harus dilunasi dengan APBN.  Sebagian besar proyek pengadaan dan pembangunan sudah merupakan hak penyandang dana pemilu.  Syukur syukur proyek itu dikerjakan dengan benar, tetapi kalau tidak negeri ini seolah dirampok beramai ramai minus rakyat. Kemudian si Presiden terpilih setelah melunasi hutang hutangnya, pada tahun ke 2 atau 3 pemerintahan, mulai mengisi kocek sendiri.  Sang Presiden bermetamorfose dari seorang penguasa menjadi seorang pengusaha.  caranya tentu gampang sekali, karena kekuasaan itu bersaudara kembar dengan kewenangan.  Mulailah istri, anak, saudara kandung, teman sekampung dijadikan atau didandani menjadi pengusaha dadakan.  Menerima pekerjaan atau mengelola proyek proyek pemerintah.  Pekerjaan yang paling gampang adalah menerima persentase dari proyek, pekerjaan di sub kontrakkan lagi. Amerika beda bukan dengan Indonesia.  Memang negara adidaya ini telah melaksanakan pilpres sebanyak 56 kali, sehingga sistem pemilu sudah merupakan pekerjaan rutin.  Sistem kepartaianpun disederhanakan, disaan  hanya 2 partai yaiotu Partai Demokrat dan Partai Republik. Komisi Pemilihan Umum (KPU ) Amerika diawaki oleh orang orang independent,  profesional, jujur dan super adil dalam arti tidak memihak kepada salah satu kandidat.  Lain pula dengan negeri ini, intervensi penguasa atau oleh siapapun masih menggrogoti kewibawaan KPU Presiden Amerika yang sudah kaya itu, bukan menjadi kaya raya ketika selesai menjabat, tetapi mereka mensubsidi negara dengan harta kekayaannya.  Jadi yakinlah orang yang sudah berpunya tidak akan lagi korupsi, malah boleh dibilang Presiden Amerika itu malah berkurang hartanya alias tekor.  Beliau dari pengusaha menjadi Penguasa.  Di negeri kita Presiden berasal dari orang biasa menjadi penguasa dan akhirnya berujung menjadi kaya raya alias menjadi pengusaha. Presiden Amerika Serikat boleh menjabat 2 kali untuk periode 4 tahunan.  Awak prediksi Obama akan unggul lagi.  Pekerjaan baik dari Obama harus dituntaskan untuk pemerintahan nya yang ke -2 agar sisa sisa pekerjaan itu akan menjadi sempurna.  Sudah banyak perubahan yang dilakukan Obama, paling tidak dari sisi dmokrasi.  Terpilihnya Obama saja sudah menunjukkan bahwa warga Amerika telah sangat dewasa, mereka telah terlepas dari belenggu diskriminasi. Di Amerika Serikat  issue issue (SARA) Suku Agama, Ras dan Antar golongan sudah tidak mempan lagi dipakai oleh provokator untuk mengadu domba antar warga.  Kedewasaan pola pikir warga mungkin disebabkan karena tingkat pendidikan rata rata warga Amerika diatas high School. Disamping itu negara ini telah ratusan tahun merdeka, jadi wajarlah mereka bisa berdemokrasi dengan sopan santun. salam salaman Komseko, 5 Nopember 2012 PenaSehat PenaSaran penakawan teDe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline