Sebelum Ketua Dewan Perwakilan Rakyat marah marah membaca judul posting ini, ada baiknya dijelaskan apa yang dimaksud dengan kosakata WTS, karena kuatir singkatan WTS diartikan seperti yang ada dalam pikiran awam. WTS itu adalah kependekan dari Wartawan Tanpa Surat Kabar, bapak.
Oleh karena itu DPR jangan atur atur wartawan yang sudah berinduk ke surat kabar / televisi / radio resmi baik yang berskala nasional maupun yang beredar di kawasan daerah. Wartawan non WTS ini pastilah sudah terverifikasi dan mempunyai track record seperti yang bersimpan rapi dalam pada curikulum vitae di file pimpinan redaksi. DPR hanya perlu surat tugas si wartawan dan kemudian memberikan ID card untuk bertugas di gedung bundar senayan.
Dengan demikian kelakuan sang wartawan bisa dipertanggung jawabkan tabiatnya selama bertugas di DPR, karena mereka membawa nama baik "boss" serta mempunyai kode etik profesi. Kalaupun nanti dalam perjalanan ada wartawan yang "nakal", DPR bisa mendepak wartawan tersebut melalui mekanisme "penggantian antar waktu" .
Kembali kepada WTS tadi , bung satpam DPR bisa mengusir mereka dengan sopan seandainya oknum ini sempat lolos masuk ke gedung bundar. Selanjutnya bolehlah diambil foto di WTS ini kemudian menandainya sebagai the man/woman who not qualified. Sehingga dengan demikian gedung parlemen kita bebas dari WTS , bebas dari gangguan permintaan amplop atau bebas dari godaan lainnya.
DPR adalah institusi publik, pengaturan informasi selayaknya transparan dan akuntabel. Rakyat berhak diberikan informasi tentang kinerja DPR, apakah dalam bentuk rapaat kerja dengan kementerian, atau fit and proper test pemilihan pejabat negara. Oleh karena itu undang undang yang akan menjauhkan DPR dari konstituennya adalah undang undang yang tidak memihak kepada rakyat dan bertentangan dengan UUD 45.
Peran Humas nampaknya belum di manfaatkan secara optimal oleh DPR. Lihat saja Ketua DPR bersusah payah menjelaskan tentang seluk beluk parlemen indonesia ini. Seandainya DPR bisa mencontoh KPK atau BNN yang telah menberdayakan HUmas, maka Ketua DPR bisa kosentrasi dalam pekerjaannya. Disampinjg itu website perlu dikelola dengan baik dan di update sesering mungkin, agar masyarakat dapat memantau pekerjaan wakil wakili rakyat. Wajib pula hukumnya web tersebut meyediakan ruang publik sebagai sarana masyarakat menyampaikan aspirasi atau permasalahannya yang menyangkut hak yang terdzolimi.
Kesimpulan : DPR memerlukan pemberitaan objektif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H