Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

(RTC) Pertemuan Dua Hati di Pantai Pandeglang

Diperbarui: 16 Januari 2019   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nasional.tempo.co

Iis duduk termangu. Di hadapannya terbentang pemandangan yang tak pernah dilihat sebelumnya. Serpihan kayu, tak beraturan. Genteng berserak, hingga mobil hinggap di pohon. Di belakangnya sana laut membiru, masih segaris lurus. Tenang pada pagi itu, tanpa angin.

"Makan dulu, Is. Nanti sakit...."

Suara itu biasanya membuatnya jenggelek, bersijingkat berdiri. Dan segera masuk ke ruang dalam. Tapi bagaimana ia melakukan hal biasa dari suara Ibu yang memintanya mengisi perut yang benar kosong?

"Nanti saja ...."

Elusan di pundak, membuat gadis berambut kepang itu menoleh. Lalu ia mengangguk pelan.

"Ada mie yang Emak masak."

"Mie?"

"Ya, kamu suka itu kan?"

Mestinya ia lebih bersemangat. Namun tetap ia berdiri dan ingin mengisi perut kosongnya yang dalam beberapa jam memang tak berisi. Ia masih saja belum mengerti apa yang terjadi, dan apa yang dilihat di hadapannya. Tepat di belakangnya rumah yang ambruk.

"Yang banyak, ya?"

Iis mengangguk. Dan pelan-pelan, ia memasukkan sulur-sulur kuning ke mulutnya. Ditambah kuah yang seperti biasa kalau ia makan mie instan. Bukan mie kuah buatan emaknya. Yang laris dijual pada hari-hari biasa di sekitar pantai yang telah diambruki kayu, genteng, kain, sabut kelapa, dan pohon serta mobil yang menggelantung. Bak sebuah lukisan asal-asalan. Tak beraturan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline