Pada buku ini, pengarang ingin berbagi perjalanan ke berbagai tempat sebagai latar belakang kisah-kisah, termasuk cinta. Apa cinta itu? Ya, termasuk kisah seorang pelukis, seorang anak manusia yang punya hati dan sekaligus gairah.
Dua puluh empat cerpen, tidak terlalu panjang-panjang, harap dibaca secara santai, boleh. Namun jika sedikit merenungkannya di ujung titiknya: lebih baik lagi. Apalagi apabila memang ada sesuatu yang bisa untuk disebentarkan dikunyah-kunyah dari sebuah kisah bergizi. O, ini seperti teman alami, atau bahkan itu sih mirip dengan apa yang kulewati jalan terjal dari sebuah kisah manusiawi bernama: cinta.
Itu salah satu sebab, mengapa Menan masih menggunakan kapal laut untuk pulang. Ada ketertarikan emosi pada Menan tentang dermaga ini, tentang laut, tentang kapal yang singgah dan jarak ke rumah dari dermaga dan Mandeh.
Narasi yang menjelaskan rasa, emosi dan lokasi serta latar belakang di mana sang tokoh Menan terhadap ibunya: Mandeh. Di belakangnya, ujung dari cerita ini sebagaimana lazimnya sebuah cerita pendek: tokoh, setting, dan kelindan sebab-akibat. Yakni Menan yang akhirnya menjadikan seorang lelaki sukses tetap hormat kepada sang ibu, "Pergilah nak, suatu waktu kelak kau aka kembali juga," kata Mandeh, sambil mengelus kepala Menan.
Iskandar, pengarang, piawai memainkan kisah-kisahnya, meski dalam balutan cerita klasik seperti dalam narasi dan dialog-dialognya. Tak ada yang melambung dan bisa dibaca secara fiktif. Cerita seperti ada di beranda rumah kita sendiri. Ikut menikmati bersama secangkir kopi. Atau bagi saya teh kental hangat pagi hari.
"Kita akan sewa perahu dengan dua awak sekaligus, agar kompartable, agar kita bisa terlayani bagai Ratu dan Raja," bisik Norman di telinga Sari degan mesranya. Duhai. Ini bagian dari sebuah kisah yang sempat membuat si wanita (Sari) terguncang. Tersebab si lelaki (Norman) menceburkan diri di Selat Adonara hanya untuk bisa mengambil blazer di kedalaman laut antara Larantuka dan Adonara itu. Happy end.
Pun untuk cerita yang dipasang di bagian Cinta yang Sangat. Dramatis. Kesebalikan dari Balada Cinta di Selat Adonara. Kisah pilu yang tak berbeda dalam sinema elektronik kita. Tragis. Dari sebuah cinta dalam sebuah keluarga. Hanya bersetting di pinggiran.
Mau apa pun, membaca cerita-cerita yang ditawarkan penulis kita seperti melayari laut cinta yang luas. Seperti setting yang dikuasai Iskandar dalam kumpulan cerpen buku kedua untuk jenis fiksi ini. Selanjutnya, kita cecap rasa kopi. Karena kalau semua yang bening itu bersih, berarti bukan kopi di antara kita.
Judul : Balada Cinta di Selat Adonara
Pengarang : Iskandar Zulkarnain
Penerbit : Peniti Media, 2018