Guru Menulis
Tahun 1978 cerpen berjudul "Putri Gunung" saya dimuat di koran Simponi, Mingguan Ibukota. Itu karya tulis saya pertama. Ditulis ketika baru lulus SMTA, dan akan kuliah di Publisitik (sekarang: Komunkasi) di Semarang.
Tak mengerti kenapa saya menulis. Padahal belum pernah menulis, dan bahkan belum pernah mengetik di mesin tik jadul. "Guru saya Kho Ping Hoo," jawabku, sekenanya. Itu karena saking getolnya membaca cerita silat Bu Kek Siansu, Pendekar Pulau Es dengan Suma Han-nya yang super sakti walau berkaki buntung.
Mungkin Kho Ping Hoo. Juga Cin Yung. Atau karya SH Mintarja. Lalu Ganes TH, Hans Jaladara, Man, Hasmi (Gundala Putera Petir), Godam sebagai guru menulis saya.
Hingga kemudian bertemu dengan Bung Smas (nama dari Slamet Mashuri) pada hari lebaran tahun 1979. Ia tetangga, Yang rumahnya bedempetan dengan rumahku di bilangan jalan terkenal di Pemalang Jawa Tengah. "Ya, mampir saja ke kantor," katanya ketika saya menyebut sedang kuliah di Jalan Gajahmada.
Ternyata itu sebuah pertemuan atau perjanjian ngawur. Yang dimaksud Bung Smas Jalan Gajahmada adalah alamat kantor redaksi Pos Kota, Jakarta. Sedangkan alamat yang kusebutkan itu adalah kampus saya di dekat Simpang Lima, Semarang. Dua tempat berbeda dan berjauhan.
Tahun 1980 saya runtang-runtung dengan Bung Smas yang tinggal di daerah Klender, Jakarta Timur. Sebuah kawasan dibilang pinggiran, waktu itu. Berkesan kampungan. Ya, karena rumah kontrakan Bung Smas tempatnya becek kalau hujan. Namanya Jalan Haji Nafsin. Dari tempat itulah ia menulis dan memenangkan lomba novel dengan Dewan Juri HB Jassin dan Korrie Layun Rampan berjudul "Cinta Seorang Penakluk" yang kemudian difilmkan dengan judul Gadis Penakluk, dengan skenario digarap oleh Parakitri, wartawan KOMPAS. Sutradaranya Edward Pesta Sirait. Adi Kurdi (Keluarga Cemara) pemain utamanya sebagai Pak Wing Ganda. Selain Ita Mustafa.
Lalu, guru menulisnya siapa?
Saya nggak mengerti. Namun 80-an awal itu saya sudah menulis ke majalah Kawanku (kini ditutup), dan bertemu dengan pengarang hebat di situ. Ada Julius Siyaranamual, Satmowie Atmowiloto (kakak Arswendo), Pak Toha Mohtar pemenang novel Pulang. Pak Trim Sutidja. Juga pengarang yang menulis ke Kawanku: M. Sobary. Juga berguru pada ilustrator kawakan: Mulyadi W, Isnaeni, Danarto (pengarang Godlob), Syahwil (Sanggar Bambu).
Suatu hari, bersama Bung Smas yang mengantar naskah Cintaku Kena Tilang (dimuat menjadi Cerbung di majalah HAI) ke kantor majalah itu di Jalan Palmerah Selatan 22, Jakarta. Berimpitan dengan redaksi KOMPAS. Saya menyerahkan 3 (tiga) cerpen. Satu dipulangkan, setelah dibaca secara singkat dan cepat oleh Mas Wendo. Dari situlah, saya belajar kepada bapaknya Imung, Keluarga Cemara, Senpati Pamungkas atau Opera Jakarta dengan nama pena Titi Nginung.
Dengan menulis di majalah HAI akhirnya bertemu dengan penulis-penulis di majalah BOBO. Di samping berguru dengan ilustrator Wedha yang kemudian menciptakan Pop Art. Kebetulan, satu ruang dengan redaksi majalah HAI dan majalah INTISARI. "Kamu ikut saja, Rin," saran Mas Wendo, tiap ada lomba menulis. Itu, ternyata sebagai cambuk untuk disiplin. Bukan soal menang-kalahnya. Persis ketika saya bertemu dengan Paus Sastra HB Jassin: ya pengarang fiksi jangan hanya membaca novel atau sastra saja. Tapi baca teknik, gaya hidup, ekonomi. Dan lainnya," saran Pak Jassin dalam sebuah perjalanan di opelet. Ya, opelet sebelum diganti dengan Komilet, pada delapan puluhan itu.