Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Tere Liye dan Pengarang Indonesia

Diperbarui: 14 September 2017   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. TS

Niat Tere Liye mundur sebagai penulis alias tidak bersedia menulis lagi dalam bentuk buku cetak, menggegerkan jagat "literasi" kita. Pasalnya, ia terkenal dan buku-bukunya laris manis dan ditunggu-tunggu pembacanya.  Ia  menyatakan hanya akan membiarkan buku-bukunya yang diterbitkan oleh penerbit besar hingga tahun 2017 ini berakhir. Sebabnya, pajak mencekik baginya (juga penulis buku lain) hingga  beberapa kali lipat. Celakanya, pajak itu sudah langsung diambil oleh/ lewat penerbit yang menerbitkan karyanya. Penulis tak bisa mengelak atau "menunda" pajak yang semisal pada celebritas.

Saya bisa paham. Saya yang menulis buku sejak awal delapan puluhan, sudah merasakan hal itu: pajak bagi penulis atau pengarang yang besar. Bahkan komponen lain dalam proses sebuah buku yang ditulis pengarang: kertas dan lain-lain. Sehingga buku kita relatif mahal.

Bagi pengarang umumnya, ingin benar karyanya mejeng di toko buku besar di jejaringnya yang hampir meliputi kota besar. Sedangkan bagi Tere Liye, yang buku-buku berderet dipajang di dekat kassir, sehingga mencolok bagi orang yang memasuki toko buku. Hukum dagang terjadi di sini. Barang (maaf, baca: buku, karya intelektual) laris sehingga perlu dipajang di tempat strategis.

Buku yang dijual di toko buku hanya laku 30 persen, menurut laporan IKAPI. Lebih sedikit darpada buku yang tak terjual. Dan Tere Liye, bukunya tentu tak termasuk yang tujuh puluh persen tersebut. Hal yang diimpikan oleh pengarang mana pun -- tak termasuk Andrea Hirata atau Ahmad Fuadi, misalnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani -- dulu kerap menulis Opini di KOMPAS -- pun merasa perlu untuk menyapa Tere Liye. Maksudnya, tentu agar tidak menghentikan berkaryanya. Dan Menkeu berjanji untuk memperbaiki aturan, sembari menunggu hukum untuk diubah. Sebab, jika terus diberlakukan pajak besar bagi pengarang bisa menjadi insiden buruk bagi bangsa  yang sedang bergiat menggerakkan masyarakat kita untuk membaca jika sumbangsih intelektual sepertinya jadi stop berkarya.  

Laporan Unesco (2012), badan yang menangani aspek kebudayaan (termasuk buku, tentu) menyebut. Bahwa hanya satu orang Indonesia atas seribu orang yang serius untuk membaca satu buku. Rentetan kenapanya, tak pelak harga buku mahal sehingga daya beli masyarakat perihal literasi jenis ini, bisa berkepanjangan. Intelektual kita (baca: sarjana masih kurang. Ironisnya, yang kurang ini pun banyak yang menganggur) sedikit. Peneliti yang menulis pun terbilang minim. Dan seterusnya.

Di sinilah dilemanya. Sehingga saya agak pesimis plus skeptis apa yang dikatakan Direktur British Council Indonesia Paul Smith. Jika industri perbukuan tetap menjanjikan. Kenapa? Karena, dikatakannya, sumber materi keberagaman negeri ini. "Literatur tentang keberagaman dan multikultural yang dibutuhkan dunia bisa dikembangkan penerbit Indonesia. Literatur ini akan jadi pengetahuan, baik fiksi maupun nonfiksi yang secara kreatif mendorong penerbitan Indonesia tumbuh," sebutnya.

Terlalu menyerdahanakan persoalan? Agaknya. Memang, pasca Indonesia mendapat kehormatan di Frankfurt Fair 2015 lalu, kita menjadi muncul ke permukaan dalam hal perbukuan. Lumayan menaikkan citra kita. Sehingga pameran buku IIBF (Indonesia International Book Fair) 2017 yang berlangsung September pekan lalu  diikuti juga oleh peserta dari beberapa negara dan diklaim sebagai salah satu pameran buku terbesar atau terbaik di Asia Tenggara, saat ini.

Bagi saya, Tere Liye dengan niatannya itu sebuah bentuk protes kepada Pemerintah yang abai -- meski telah mendirikan Bekraf. Bukankah buku disebut-sebut sebagai peringkat kelima penting dalam dunia industri kreatif setelah film, lagu dan lainnya.

Hitung-hitungan sebuah buku karya pengarang kita yang mendapat royalti 10 (sepuluh) persen, misalnya,  dikalikan dengan buku yang terjual, sangat tak kecil. Padahal, dari laporan 30 persen buku yang laku terjual itu, pun berapa yang mencapai angka standar cetakan awal 2000 eksemplar dalam setahun? Jika hanya laku 100 eksemplar dikalikan royalti semisal Rp. 6. 000 rupiah/ per buku, maka angkanya adalah cuma: Rp. 600. 000. Padahal, untuk menuliskan itu dibutuhkan waktu berapa lama? Dan proses menjadibuku itu sendiri hingga dipajang di toko buku?

Panjang memang untuk memperoleh "imbalan" memadai sebagai seorang penulis. Ini bukan masalah bahwa menulis secara ikhlas di era medsos kini -- termasuk di Kompasiana. Di mana dulu, di bawah tahun 2000, jika penulis menerbitkan di media massa cetak (koran atau majalah) mendapat imbalan lumayan. Lha, setelah, katakanlah tahun 2015, honornya masih "sama". Maksudnya, besaran atau nilainya ya segitu-situnya. Ini konsekuensi logis dari penerbitan koran atau majalah tirasnya tak naik, bahkan beberapa tutup. Kurang apa majalah HAI (Kelompok Gramedia) di mana saya pernah aktif memberi honor satu tulisan amat besar dan kini mesti tutup. Cukup menjadi media online.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline