Cerita Minggu Pagi 28
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku sayang
“Banyak cerita yang mestinya ingin kuungkapkan,” desisku. Banyak lagi yang akan kuutarakan sebelum tiba di selatan Selatan Semarang itu. Di Jogja, ah begitu ngelangut aku bila mengingatmu. Seperti kalau Katon menembangkan Jogjakarta: pulangkekotamu. Masih seperti dulukah sudut-sudut dengan makna akan nostalgi kita?
Aku duduk di bangku sisi kiri, memandang ke luar jendela. Sawah beterbangan antara hijau dan kuning bak lukisan naturalis khas tanah Jawa. Di Pantura yang dilintasi kereta tak ada gunung. Bias matahari pagi seperti menjauhkan aku denganmu.
“Kita akan ketemu lagi bila Bang Sam sudah yakin akan pilihanmu pada seorang gadis ....”
“Kenapa begitu pertanyaanmu?”
“Memange?”
“Ya kita kembali ketemu di Jogja, Re.”
Aku tak bisa memaksa Reni Wahyuningtias meski sudah yakin telah menggenggam hatinya. Bukankah ketika ia mengecup keningku ketika ulang tahun sebagai pertanda? Atau kurang? Tak. Aku mengerti apa arti seorang Re seorang gadis Jawa yang menjaga adat ketimuran dengan rambut panjangnya diurai khas orang jadul. Gadis yang diakuinya sendiri tak mungkin menyisir rambutnya di depan umum. Orailok, tak elok seorang wanita merias darurat di banyak pasang mata memelototinya. Ah, itu sebuah adat yang mulai sirna. Namun tidak baginya, seorang yang mengambil sastra Jawa diperguruan tinggi paling terkenal di Kota Pelajar. Sementara aku orang realis dari sebrang.
Senja mendekati Jogja ketika matahari memerah di punggungku saat kereta menikung di Purworejo. Sebuah keinginan yang belum terwujud. Sisi ruang batinku yang merindu terus ke Re. Merengkuh sukmanya kembali sebelum perpisahan yang begitu datar tapi meremukkan hatiku. “Tak mungkin karena ia ke lain hati,” bantahku.