Dua orang menteri, serta sejumlah doktor dan profesor hadir dalam sebuah perhelatan yang bersumber dari buku. Ya, sebuah media mainstream dianggap lapuk di era milenial walau di negeri ini pemikiran melalui kitab tulisan manusia, masih payah.
Pas Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan Menteri Pendidikan Muhajir Effendi ada dalam milad Penerbit Mizan ketiga puluh empat. Karena ini ranah pemikiran, serta perihal agama – terutama Islam – yang hari-hari ini ditafsirkan sebagai lengkingan galak dan seperti ingin mengoyak negara bangsa. “Sebagai bangsa kita belum menjadi, kita sedang dalam proses,” tandas Buya Syafii Maarif, yang berusia 81 tahun, malam Kamis (30/3) itu di Gedung Serba Guna, Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta.
Saya memenuhi undangan Peter Adriaan Walandouw orang dalam Penerbit (dari) Bandung yang didirikan oleh mahasiswa yang belum lulus Sarjana, di antaranya oleh punggawa Haidar Bagir (60 tahun) yang malam itu meluncurkan Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau.Ada di dalam lingkungan para pemikir, menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri. Karena terselip nama semisal Salim Said, Mochtar Pabottinggi, Komarudin Hidayat, Abdillah Toha.
“Sastra sesungguhnya, di dalamnya mengandung Power of Beautiful,” kata Buya yang bukunya dicetak ulang Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara.
Bisa dimengerti, jika malam itu juga tampil anak-anak yang menjadi setelah lahir dan terlibat di Penerbit yang berarti Timbangan: Mizan. Di mana Sri Izzati penulis Kado untuk Ummi dalam Kecil-kecil Punya Karya yang kini mahasiswa UI dan malam itu menembangkan midley Jali-jali Jakarta, Gundul-gundul Pacul, Cublak-cublak Suweng dengan rancak dan manis.
Atau si nakal Pedi Baiq yang telah menulis sejumlah karya fenomenal Dilan (Dia adalah Dilanku tahun 1990), Milea (Suara dari Dilan) dan Drunken Monster: Kumpulan Kisah Tak Teladan (humor). Ia menyebutkan serenteng perjalanan hidup, ibunya dan keluarga dalam keislaman yang longgar. Termasuk ketika ia dengan jenaka dan satir menulis lagu Anjingku Kuberi Nama Kucing.
Mizan, agaknya punya sejarah tersendiri perihal melahirkan penulis-penulisnya. Termasuk bagi pembawa acara Prabu Revolusi yang telah menulis SecangkirKopiInspirasi. Sehingga malam 34 Milad Mizan ini bak mencatat perjalanan mereka yang tak lelah, termasuk bagi Buya Syafii bagi bangsa ini. Karena, termasuk Pancasila, selazimnya, catatnya: Setelah adanya Pancasila seperti yang disebutkan oleh Bung Karno mestinya kita tidak miskin. “Namun kenyataannya, ada orang kaya lima puluh persen yang tidak mencerminkan sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Dan ini dibiarkan saja.”
Di era yang memprihatinkan bagi Haidar Bagir, yang konsisten dalam menuliskan Agama Cinta, sejak tahun delapan puluhan di KOMPAS dan belum lama ini menuliskan serupa, ia bisa disebut berkontribusi dalam pemikiran di kekinian. Bahwa Tuhan tidak perlu agama. Agama untuk manusia dan membahagiakan, mestinya.
Mizan, sekali lagi mencatat perjalanan sebagai media berhalaman-halaman bernama buku, dari yang awalnya terjemahan dan sekarang bisa menampung sejumlah nama semisal Quraish Shihab, Azzumardi Azra, Emha Ainun Nadjib, Seno Gumira Adjidarman, M. Sobary, dan bahkan dari kelompok penerbit ini mencetak karya sastra mencengangkan: Laskar Pelagi, Andrea Herata yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa asing. Termasuk Jepang.
TS, Tamita Wibisono dan Haidar Bagir
“Laskar Pelangi saya terjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Untuk ukuran karya dari Asia Tenggara, Laskar Pelangi dicetak sampai enam ribu eksemplar, amat luar biasa,” ungkap musikus Jepang Hiroaki Kato yang berusia 34 tahun dan pernah setahun kuliah di UGM itu. Karena, sambungnya, karya dari Asia tenggara, biasanya hanya dicetak seribu eksemplar.