Dua kali enam bulan terakhi ini bertemu dengan Pak Bea, di TIM sebelum mendengarkabar langsung dari putrinya, Fanny Jonathans Poyk, perihal kepergian sang sastrawan ke alam kekal. Ya, itulah Herson Gubertus Gerson Poyk yang acap disapa bagi orang-orang yang mengenalnya lebih dekat. Ia patut dikenang dengan novel awalyang kubaca: SangGuru ketika masih di kampung.
Kali pertama dalam pertemuan tahun 2016 lalu itu, ketika meluncurkan buku kumpulan puisi dengan pembahasnya Putu Fajar Arcana, wartawan KOMPAS di PDS HB Yassin, Taman Ismail Marzuki. Itu karena pemberitahuan Fanny juga, yang memanggilku Bang Thamrin. Sedangkan kali keduanya ketika ulang tahun kelima puluh majalah Sastra Horison. Saat itu, dari arah belakang, sebelum memasuki pintu Galeri gedung TIM saya tepuk Fanny. Ia menoleh, dan menampakkan wajah senang, lalu menerima salamanku, dan memberitahukan bapaknya kepadaku. Aku menyalaminya. Hangat seperti biasa, meski setengah mengingat. Ya, sudah delapan puluh lima tahun. “Ini Bang Thamrin ...,” katanya mengingatkan lelaki bertongkat yang dibimbing dengan setia. Dari Fanny-lah memeberitahukan kondisi belakangan kesehatan bapaknya di facebook.
Masih lekat rasanya novel “Sang Guru” yang berhalaman tak begitu tebal kubaca saat masih belia. Kok, bisa novel dengan menggunakan kata ganti orang pertama tunggal itu begitu memikatku. Menuliskan dan menggambarkan dengan jernih: Perjalanan seorang guru asal daerah ke “kampung halamannya” di tanah kelahirannya sana: Rote, Nusa Tenggara Timur . Namun siapa sangka pengarang yang awal mengenal nama itu kukira orang asing menjadi seorang guru menulis secara tak langsung. Ya, saat di delapan puluhan aku kerap menulis di koran sore Sinar Harapan (SP) sampai kemudian berganti nama Suara Pembaruan bertemu – bahkan suatu ketika oleh Ray Rizal (wartawan Mutiara, grup SH) aku diajak untuk diskusi filsafat bersama Pak Gerson di Unas, Universitas Nasional-nya Prof. Sutan Takdir Alijahbana. Sehingga, ketika sudah berusia lima puluhan saat itu, Pak Bea kerap satu angkot saat menuju ke toko buku di Kalibata Mal, Jakarta Selatan. Bahkan ingat saat beliau membayari ongkos mikrolet Kampung Melayu-Pasar Minggu itu dari kantor harian sore SH yang berkantor di Jalan Dewi Sartika 136-D, Jakarta Timur.
“Saya paling tidak bisa kalau ada temen lebih muda seenaknya memanggil: kamu, tanpa Pak. Apalagi lu. Saya bisa dan tak keberatan kok disapa Bung atau Bang,” katanya ketika kami berkutat di deret buku.
Agaknya, kerisian itu masih berkait dengan budaya dari seorang guru. Pak Gerson atau Pak Bea layak untuk protes semacam itu. Setidaknya bagiku, mengingat keseniorannya serta Fanny (anaknya) selisih sedikit denganku dan menjadi penulis di harian sore, terutama menulis cerita anak-anak dan remaja yang diasuh penyair wanita Poppy Donggo Hutagalung. Pada kemudian, Fanny selalu menerima cerita anak-anak (baik cerpen maupun cerbung) di mana ia menjadi redaktur tabloid Fantasi.
Pak Gerson, pernah suatu ketika mengatakan, “Tulisan seorang jurnalis yang pengarang akan lain atmosfernya.” Dan itu pernah kurasakan benar kata-kata si Di Bawah Matahari Bali, Oleng Kemoleng, Cumbuan Sabana dan puluhan karya lainnya yang memenangkan hadiah jurnalistik Adinegoro dua tahun berturut-turut: 1985-1986. Barangkali, ia seorang kuat seorang jurnalisme sastra di negeri ini. Di mana ia nyaris seorang lelaki pejalan yang menjelajah Nusantara dalam arti sesungguhnya bagi penerima SEA Award itu dengan kacamata yang dalam dan detail. Khas tulisan seorang yang menggendong nilai sastrawi.
Membacai karya-karya, terutama cerita pendek dan novel Pak Bea yang pernah mengenyam menulis di Iowa University, kerap kita seperti larut. Kita seperti diwakili oleh si tokoh aku. Begitu dekat, dan kita kerap menuduh jika “itu si pengarang”nya. Saking dalempenggambaran kisah-kisahnya. Ini ciri khasnya.
Ia lelaki hangat, memang. Ciri khas seorang pengarang yang hidup sepenuhnya dituangtumpahkan untuk kepentingan karya tulisnya. Tak punya yang lain. Sehingga, aku dalam perjalanan di kereta seperti ungkapan sejarawan sekaligus novelis “Khotbah di Atas Bukit” Kuntowijoyo: seperti seorang duduk di gerbong paling belakang kereta sedang berjalan dalam membaca sejarah Pak Gerson.
Dan ketika menukil putrinya, perihal nasib sastrawan di usia tua yang tak mengenal pensiun, Fannys sahabatku itu begini: Seniman atau sastrawan adalah orang-orang berjiwa sosial, jangan salahkan mereka dengan kata-kata 'tidak becus memanage kehidupan' sebab nurani mereka tak bisa terbendung bila melihat teman-teman mereka yang menderita. Mereka mahluk penuh empati yang diciptakan Tuhan, tidak ada keserakahan dalam diri untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, jangankan harta, punya seliter atau dua liter beras pun rela mereka berikan pada teman-teman mereka yang kesusahan.
Tak sanggup aku menghela nafas dalam-dalam untuk tak meneteskan airmata di kereta tak begitu penuh manusia.
Selamat jalan, Sang Guru.