Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Eyang Pejuang di Hotel Oranye

Diperbarui: 22 Januari 2017   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pri

Cerita Minggu Pagi 22

MADE Wianta sudah setahun pindah ke Surabaya. Hampir seluruh kota itu sudah dijelajahi anak pindahan Denpasar itu.  Dengan bersepeda, ia melihat Jembatan Merah sampai Tugu Pahlawan. Namun anak kelas lima SD Gubeng itu paling senang jika sore hari berada di ujung Jembatan Suramadu. Jembatan panjang yang ujungnya menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura. Di sana ia puas memandang laut di senja hari. Memandang matahari yang membesar dan siap-siap masuk ke dalam laut.  

            “Di sini juga indah,” desisnya selalu. Ia sering rindu dengan tanah kelahiran. Terutama dengan pantainya, Pantai Sanur. Yang pada pagi hari matahari terbit bisa dilihat dengan tenang. Sebuah tempat yang bersebelahan dengan Pantai Matahari Terbit. Ah, namanya saja Matahari Terbit. Di mana banyak bukan orang Bali berburu dengan melihat matahari mulai muncul pada pagi hari.  

            Kali ini Made tidak sendirian di Pantai. Ia ditemani seorang lelaki tua, tetangganya depan rumah. Namanya Tirto Kartodirjo. Oleh Pak Tirto, Made dianggap cucu sendiri. Mungkin karena tidak ada anak dan cucu yang tinggal bersamanya. Ia hanya berdua Bu Tirto yang juga sudah sepuh. Usia Pak Tirto dan Bu Tirno tujuh puluh tahun lebih. Itu sebab kemudian Made memanggilnya Eyang Tirto.

            “Di sini, dulu tempat musuh berkumpul yang akan menyerang kita di darat,” kenang Eyang Tirto.

            Made yang duduk di sisinya mendengar dengan baik. Ia paling senang kalau Eyang Tirto bercerita tentang pertempuran Surabaya dengan Bung Tomo yang mengobarkan semangat perjuangan melawan Tentara Nica.

             “Kita sebenarnya kalah dibandingkan dengan mereka. Tapi kami tidak ingin dijajah, kita sudah merdeka,” lanjut Eyang Tirto. “Nah, itulah sebabnya kita melawan mereka. Sampai kemudian penurunan bendera di Hotel Oranye yang sekarang masih ada.”

            “Hotel Majapahit, maksudnya kan Eyang?”

            Eyang Tirto memegang tangan Made. Lalu ia mengelus punggung tangan anak itu dengan penuh kasih sayang.

            “Nah, sekarang Made ingin belajar semangat itu. Belajar dari masa perjuangan itu. Made akan main sandiwara.”

            “Ya, ya. Saya mengerti. Itu sebabnya kau ajak Eyang ke sini, kan?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline