Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Jokowi Undercover dan Bahasa Tulis Kita

Diperbarui: 5 Januari 2017   05:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

MAU bilang apa, coba? Jika Bambang Tri Mulyono yang mengklaim sebagai penulis Jokowi Undercover, sekarang meringkuk di Polda Metro Jaya di Jakarta, setelah diciduk dari Blora, Jawa Tengah dan oleh Kepolisian disebut, “Ia mencari popularitas.”

Ia, seperti yang bisa kita ikuti di FB-nya selalu menantang-nantang, dan mengumbar kosa kata Goblok kepada Presiden, Kapolri dan bahkan Jonru. Di salah satu ucapan di akunnya itu,  bahkan dengan gagah menyebut, “Saya tidak butuh Prabowo. Prabowo yang butuh saya.”

Hebat nian orang ini, ya?

Kesimpulan Kepolisian, bahwa Bambang Tri hanya mencari popularitas. Yakni  dengan menyebarkan ujaran kebencian. Ia sempat menjual bukunya setebal 436 halaman itu  via facebook yang ternyata hanya copy-an.  Alias bukan buku dicetak secara offset sebagaimana kelaziman buku yang punya standar ISBN dan berBarcode atas permohonannya ke Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Salemba, Jakarta.

Satu Buku

Menulis buku di era digital sekarang ini gampang. Bahkan bisa mencetak satu buku dengan kualitas lebih baik baik daripada buku offset era delapan puluhan, misalnya. Ya, dengan cover kinclong dan dilaminating glossy atau doff selayaknya buku-buku yang terpajang di Toko Buku besar berjaringan. Jadi, apalagi cetakan isi di dalam buku. Karena jika dicetak digital pula, hasilnya bisa setajam – bisa lebih malah – cetakan offset.

Persoalannya adalah isinya macam apa? Jika disebutkan dalam buku berjudul Jokowi Undercover, tentu mesti memiliki data primer yang tak banyak diketahui oleh publik (sebelumnya). Di situlah nilai undercover atawa kelas A1 sebuah buku jenis ini dan menggunakan judul dengan membonceng buku Jakarta Undercover. Hal yang bisa dilakukan oleh sedikit orang – mesti ia bukan penulis awalnya. Sebutlah mantan presiden atau  mantan pejabat CIA atau BIN di negeri kita, jika bukan Bob Woodward yang menggegerkan dengan bukunya Skandal Watergate.

Paling mendasar dari seseorang menulis buku adalah setidaknya menguasai bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi berupa teks yang menggunakan tatanan dan kaidah tertentu yang disepakati. Setidaknya agar bisa dipahami bagi pembacanya. Lha, bagaimana kita (sebagai pembaca) percaya kalau buku yang berkelas A1 semisal Jokowi Undercover itu ditulis oleh orang tak berkompeten seperti Bambang Tri? Yang lebih senang dengan kosa kata Goblok – yang sesungguhnya telah menjadi bumerang baginya kini.

Menulis non fiksi, dalam hal ini Jokowi Undercover, membutuhkan setidaknya aspek: data, keruntutan kalimat-paragraf-bab dan bahasa dari seorang penulis. Di samping logika-logika yang dimajukan berupa teks itu.

Jika EYD (Ejaan Yang Disempurnakan, diberlakukan sejak Agustus 1972) dan tata bahasa ditabrak-tabrak, kita hanya mendapatkan rangkaian teks yang berjenis abal-abal dari sebuah buku. Jokowi Undercover, sepertinya klop dengan tren Hoax dan kebanalan yang sedang menjadi-jadi di awal 2017.  Setidaknya, keprihatinan hari-hari ini dengan adanya FitsaHats atau apa pun. Jika tersebutkan: bahasa menunjukkan bangsa, apakah bertanda kita sedang memasuki bangsa yang bar-bar dengan ujaran kebencian yang kian meruyak? ***

  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline