Cerita Minggu Pagi 17:
Henny bangun kesiangan. Itu pun setelah berulangkali burung di dekat kamar bernyanyi dengan suara merdu. Burung perkutut yang jarang ditemukan dan dipelihara di Manado, Sulawesi Utara itu membangunkannya.
Hari belum siang benar. Matahari masih belum menyengat. Sinarnya masih kekuningan jatuh di halaman tengah rumah banyak kamar itu.
“Seperti bukan sedang menginap di hotel saja, ya Ma?” kata gadis berkulit putih itu.
Saat itu Mama masuk ke kamar. Ia sudah rapi. Ia akan mengikuti acara seminar di Aula UGM.
“Ya, memang ini bukan hotel. Ini homestay dari keluarga Pak Kunto yang Mama kenal waktu kuliah di Jogja sini,” sahut sang Mama yang selalu berkacamata itu.
Henny mangut-manggut. Mengertilah kenapa Mama tidak memilih hotel di pusat kota sekitar Malioboro sana. Namun ia tidak menyesal sekarang. Karena rumah keluarga Pak Kunto yang disewakan kepada turis itu enak. Nyaman. Kali ini ada turis dari Inggris dan Australia yang menginap.
Ruang tengah ada taman rindang. Beberapa pepohonan seperti cempaka, melati dan mawar dirawat apik. Juga soka merah yang dihinggapi kupu-kupu hitam legam dan ada sedikit merah di bagian atas sayapnya.
Pagi itu Henny sarapan pagi nasi liwet dengan lauknya telor panggang yang kecokelatan. Ada peyek kacang dan kerupuk gendar di blek kecil. Ia menyelesaikan makanan yang agak manis itu dengan pelan. Matanya masih mengamati sekeliling ruang makan keluarga yang dijadikan tempat penginapan cara rumahan. Juga ia melihat lemari, kaca di dinding dan potret keluarga dengan pakaian adat Jawa.
“Mau tambah, Mbak Henny?” sapa seorang gadis berambut kucir kuda. Ia membawa teh poci dan cangkir mungil berukir bunga ungu.
“Eh …mmm, tidak,” jawab Henny. “Kok tahu nama saya, Mbak?”