TANGIS anak derita Ibu. Begitulah yang dialami oleh Ibu Henny warga Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Timur. Ia korban banjir besar yang melanda Jakarta pada awal tahun 2013. Ia hanya satu di antara saja, karena banyak yang tak tertangani oleh tenaga medis. Meskipun kejadian atau musibah ini ada di ibukota Negara, Jakarta. Yang cukup banyak tenaga ahli medisnya.
Saat itu saya ikut serta membantu para korban yang sudah berhari-hari tinggal di Posko banjir di beberapa tempat, seperti di Cawang, Pejaten, Rawasari dan daerah lainnya. Semuanya ada di Jakarta yang sedang dilanda banjir cukup parah.
Saya sebagai seorang relawan PMI dari Kabupaten Kepulauan Seribu Jakarta yang sudah sering menjadi tenaga sukarela di tempat yang terkena musibah, merasa perlu turun ke bawah. Ini sebuah panggilan jiwa. Apa yang terjadi bancana alam di Jogja, Pangandaran, Sukabumi, Padang (Sumatera Barat) dan beberapa tempat, kali ini tak bisa tidak terpanggil. Mengingat ini ada di daerah yang tidak jauh dari rumah saya di Tebet, Jakarta Selatan.
Kalau biasanya saya ikut membantu sebagai relawan dan bergabung bersama teman-teman di organisasi Apali ( Asosiasi Pengobatan Alternatif), apa salahnya kali ini seorang diri mendatangi para korban banjir itu. Ya, seorang diri. Saya hanya mengenakan seragam PMI (Palang Merah Indonesia) yang telah memiliki izin jika ada dalam keadaan darurat, dengan senang hati membantu para korban banjir itu.
“Pak Bambang, maklumlah petugas medis tidak sebanding dengan para korban,” kata salah seorang petugas di Posko ketika saya datang ke daerah banjir di Jakarta TImur itu. Saat itu saya datang seorang diri. Hanya berbekal kebisaan saya sebagai seorang hypnoterapis. Sebuah anugerah dan pengetahuan yang saya pelajari bertahun-tahun, terutama setelah saya pensiun dari PNS. Hasilnya pun relatif lumayan. Sehingga saya sering dimintai untuk memberi penyembuhan cara saya.
Mulailah saya ikut serta dan berpartisipasi sebagai relawan di tempat penampungan. Pertama, lima orang “pasien” saya tangani. Yakni dengan saya sentuh titik relaksasi, dan daerah-daerah syaraf, mereka langsung segera tertidur. “Setelah dalam hitungan mundur kelima, kalau saya sebut tidur, maka tidurlah dengan nyenyak,” sebut saya di dekat telinga mereka.
Bambang Purnomo Djati, saat menerapi korban banjir. (dok.pri)
Dan mereka pun satu demi satu, tertidur. Istirahat. Mengendurkan ketegangan syaraf di tempat penampungan yang sesungguhnya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Ya, apa daya mereka tinggal dan hidup tidak sebagaimana mestinya pada saat kondisi normal, tidak kebanjiran. Mereka mengalami stres. Tidur di tempat yang berhimpitan dan tak senyaman kalau tidur di rumah sendiri walau tidak terlalu luas.
Banyak para korban banjir mengalami keletihan kronis dan trauma, bisa istirahat.
Alhamdulillah. Keberadaan saya cukup membantu. Beberapa orang yang saya tangani merasa lebih nyaman. Dan pada sore harinya, mereka meninggalkan Posko Banjir. Dengan senyuman mengembang. Dan itu, tak hanya saya terima dari Ibu Henny seorang. Namun dari orang-orang yang telah saya tidurkan, dan menjadi lebih rileks. “Setelah hitungan mundur kelima, bangun!” petunjuk saya.
Dan mereka bangun. Satu demi satu. Dengan perasaan yang lebih nyaman dan rileks.