Sahuuuur...!
Ah, inilah bagian dari proses berpuasa pada siang harinya. Dan apa yang disahur, eh diudap atawa diminum? Bisa apa saja. Tergantung selera, pun tergantung malas-malasan atau tidak menghadapi acara di dini hari itu.
Kalau saya, kadang memang tidak makan berat, hehehe. Boleh jadi, karena setelah berbuka tak henti ngemil. Dari apa saja yang ada. Dan, tentu, tak bisa tidak adalah es timun suri. Tradisi sejak masih di kampung sono: Pemalang namanya, dan di negeri apitan Pekalongan-Tegal itu dilebeli: barteh.
Tersebab ini masalah sahur, maka tradisi moci, minum teh panas dengan air teh di poci tanah yang biasanya pagi hari berpindah ke sahur. Sajiannya, sama. Masih khas Pemalang – sering diklaim, milik Tegal. Mungkin karena rekor MURI untuk moci ini dilakukan oleh Negeri Poci, Tegal. Sampai-sampai ada kumpulan puisi: Dari Negeri Poci. Penulis hebat-hebat, dan sebagian ada di Jakarta.
Okelah. Saya khawatir Kong Agil (si pencetus Planet Kenthir) pun protes kalau moci itu juga menjadi tradisi saya sebagai wong Pemalang. Cara penyajiannya pun ndak beda-beda amat. Yakni, poci diisi teh bubuk – biasanya merek dari buatan Slawi, Tegal. Nah, air mendidih 100 derajat celcius blutuk-blutuk itu dituangken ke dalam poci. Maka, menguarlah aroma teh, yang biasanya semripit wangi melati.
Sudah?
Diamkan saja dulu. Minimal tiga menit. Untuk proses teh menjadi berwarna dan menyatu. Lalu, tuang ke cangkir yang berisi gula batu. Kenapa gula keras bukan gula pasir? Hehehe. Jangan tanya. Ini turun-temurun. Seeeer ...!
Aduk!
Nah, tinggal sruput, lah! Mertua lewat – lha sahur-sahur kok diawasi mertua – pun takkan kelihatan. Ya, ndaklah. Betapa asyiknya moci di dini hari. Eh, sahuuuur!
***
Catatan: Boleh sambil moci dengan cemilan.