Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Cerita Bangun Tidur dan Lapar

Diperbarui: 6 Juni 2016   00:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

MATAHARI, sinarnya mencorong. Lurus. Menembus ke dalam rumah. Menerpa mata yang baru kubuka. Aku kaget.

“Sialan!”

Aku menghela nafas. Rumahku memang bocor dindingnya, dan pyannya, dan ada genteng yang berserakan sehingga kalau hujan sebagian airnya menetes masuk ke dalam rumah. Aku miskin, gumamku mengakui. Namun istriku masih ada. Justru istriku itu yang membawaku menjadi miskin.

“Jangan dimatiin ...!” serunya amat marah, kalau ia terbangun dan TV yang ditonton itu menontonnya tidur. Lalu ia meraba-raba, mencari, dan begitu menemukan remote control ia menggeser posisi tidurnya. Langsung menghadap ke layar kaca. Klik.

Lalu tertawa. Sambil menuding-nuding kelucuan pemainnya, yang sebenarnya tidak lucu menurutku. Hanya karena kedodoran mengenakan pakaian. Atau wajahnya disemprot tepung sehingga ia gelagapan. Kali lain ada perempuan dengan pakaian minim, sebagai babu, jalan megal-megol dan kena semprot air kran seorang sopir yang naksirnya.  

Aku menggeleng. Begitu selalu kelakuannya. Yang mulai kuyakini ia yang membuatku miskin. Bersama. Alangkah tidak enaknya. Miskin karena:

“Matiiin, knapa?” seruku saat ia ke luar dari kamar mandi, dan lampu di dalam kamar mandi yang pintunya keropos di bagian bawahnya karena kena air berjalan ngeslem tak berasa salah. Ya, karena akulah yang kemudian mematikannya. Selalu.

Aku lapar, pengin makan. Tapi sejak pagi tadi, aku sadar tak bisa memberinya uang untuk belanja. Jelas takkan ada masakan di meja atau di mana pun di seluruh ruang rumah. Nasi, mungkin masih di dalam rice cooker. Nasi semalam.

Makanlah seadanya. Makanlah selagi lapar. Perut lapar adalah lauk-pauk yang paling enak.Aku tertawa. Kayak anak kecil saja. Sedangkan aku sudah hampir punya cucu. Meski semua anak-anakku yang telah berkeluarga  jauh, tak tinggal bersama kami yang miskin. Miskin untuk belanja, miskin dengan rumah yang bolong-bolong. Miskin pengertian bersama dengan istri. Ya, hidup yang telah kami jalani menjelang  tiga puluh tahun.

Istriku tak pernah miskin. Tidak meyakini ia menjadi miskin. Karena ia jika sedang tidak punya uang meminta uang kepada anak-anaknya. Minta ditransfer melalui ATM-ku. Dan aku disuruhnya mengambil. Tidak boleh kurang seperti jumlah yang dikirimkan oleh anak kami.

“Kamu minta dong, sana sama Jum, sama Riii ...!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline