Sore. Senja. Dan hujan. Aku menatap tetesan air lewat ujung genteng. Di sisiku bangku panjang kayu, dua ekor kucing duduk rukun. Si Putih dan Si Belang.
“Ngiaaaau ...!”
Kucing itu entah kenapa bercakaran. Aku terusik. Dan kemudian mengusir mereka. Berlarian, menembus hujan.
Hujan tetap turun. Langitnya makin kelabu. Lalu, kulihat sekelebatan malaikat-malaikat turun. Berdua.
“Kau tidak hujan-hujanan?” tanya salah satu Malaikat.
“Kenapa memang?”
“Tak kenapa-napa. Sepertiku saja,” sahut Malaikat satunya.
“Ini rakhmat!” sambung Malakait yang tadi.
Belum sempat menjawab, petir menyalak. Ah, tidak. Intro dengan alunan menjauh. Lalu senyap. Air hujanlah yang kemudian berirama. Seperti tadi. Tak kunjung naik-turun iramanya.
“Tak juga mau berhujan-hujan?”
“Ini saat paling tepat. Malam nanti nisfu Syaban ....”