Spanduk, bendera dan backdrop menongolkan cover buku “Catatan dari Cilegon” di sekitar Gedung DPRD Cilegon, Banten. Ya, buku dengan wajah Kang Nasir atawa Moch. Nasir, penulisnya. Dan ini, memang untuk acara bedah buku sang penulis. Persisnya, pesta buku kompasianer yang suka guyon. Tapi serius, pun bisa!
“Banyak pujian untuk saya,” kata Walikota Dr. H. Tb Iman Ariyadi, dalam sambutannya di acara meriah dengan seratusan audience. Wah, kok bisa? Ya, bisa. Boleh jadi, karena ia memberi kata pengantar buku Catatan dari Cilegon. Meski, itu diakui orang nomor satu Negeri Baja di ujung Pulau Jawa, ada kritik yang dilontarkan Kang Nasir. Namun, buku ini sendiri, bentuk sumbangan pemikiran penulis yang dianggap penting untuk perkembangan literasi ke depan di Cilegon. Sangat mengait dengan apa yang telah digulirkan walikota yang telah membebaskan “bayaran” bagi anak-anak Cilegon hingga jenjang SMTA.
Berarti kurang ajar, kan? Memang, Kang Nasir acap kurang ajar. Dalam buku ini, yang terdiri atas 45 judul – kok kayak angka keramat, ya? – dibagi dalam tiga bab: Jejak Langkah Dr. H. Tb Iman Ariyadi, Pembangunan dan Masalah Sosial di Cilegon, Banten serta Politik, Hukum dan Sosial di Indonesia. Plus Kesaksian Para Sahabat.
“Saya kira ini bentuk sumbangan pemikiran konkret penulis dalam buku ini. Kan tidak semua sumbangan berupa materi,” ujar Dr. Fauzi Sanusi, Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis Untirta dalam bahasannya. Di mana ia menguraikan dari knowlege sharing. Dan, Kang Nasir, disebut sebagai orang yang meneguhkan sumbangsih, dalam hal ini bentuk pemikirannya di tanah kelahiran.
Bagi Isson Khairul, kompasianer yang selalu menulis dengan data alias tak mengawang-awang, bisa menggugat sekaligus menantang peserta yang mayoritas pelajar dan mahasiswa itu. Saatnya adik-adik mengikuti jejak Kang Nasir. Setelah ia mengajukan pertanyaan landmark Cilegon yang dipasang di back cover buku. Sebenarnya, berapa “cabang” dari tugu itu, apa arti simbol filosofi, dan, “Itu kalau kalian berjalan dari sini, ke luar lalu memotret landmark Cilegon dan memposting baik di FB maupun istagram, kan dahsyat, tuh efeknya! Orang makin kenal Cilegon,” tandas Isson.
Inilah yang membuat bedah buku tak terbatas pada teks-teks yang digoreskan Kang Nasir. Menjadi sebuah pesta meriah dengan lontaran pemikiran untuk Cilegon yang cerah. Sehingga seorang guru dari SMK Muhammadiyah mengerti, apa arti kebutuhan tulisan. Di mana ia merasa kesulitan, ketika ada siswanya yang mampu menulis naskah/ skenario untuk program aduio-visual. “Kami membutuhkan, pelatihan atau semacam itu. Sehingga tak seorang siswa mampu menulis naskah. Ketika ada yang mampu dan ia lulus, kami bingung,” ujar Pak Guru yang bangga karena karya anak didiknya diiikutkan ke festifal di tingkat provinsi Banten.
Konsekuensi logis penulis, seperti mewakili Walikota – dan seperti tersirat di buku perdananya Kang Nasir – mesti menjawab serangkaian peserta bedah buku. Bahwa di Cilegon berkembang masalah-masalah, semisal hiburan lebih dominan. Tak terserapnya lulusan di Cilegon dengan maksimal, pembangunan dengan proyek besar yang kadang kurang bermanfaat bagi orang kecil.
Jelas, dari jejak buku yang dibedah di Rumah Rakyat, DPRD Cilegon ini telah akan ikut menentukan perkembangan yang berkait dengan intelektualitas di Bumi Baja. Di mana berdiri industri yang juga tak terelakkan dari dampak sosial. Kang Nasir, seperti ikut bertanggung jawab dengan Cilegon ke depannya. Dan persis seperti ditandaskan Dr. Fauzi Sanusi. Penulis telah menyumbangkan “pemikirannya” dalam bentuk non-material*. Selamat datang, literasi di Cilegon! ***
*Berkait dengan Hari Buku 17 Mei.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H