Gunung yang dilalui dalam perjalanan napak tilas cerpen Didik (foto-foto TS)
Cerpen-cerpen Didik Sedyadi yang terhimpun dalam buku “Fira, Haruskah Kutunggu Kau di Sorga” awal Mei ini jadi. Semua cerpen yang termaktub di dalamnya sudah kubaca. Ada gelitikan untuk menapaktilasi setting yang digambarkan dengan “tipis” oleh pengarangnya, terutama tentang Majalengka, Gunung Ciremai, atau paralayang dan Taman Digantara, yang masih segaris dengan SMAN 1 Majalengka tempat Didik mengajar sebagai guru matematika, di Jalan Abdul Halim.
Sore yang cerah, meski mulai meredup ketika aku tiba persis di depan Smansa Majalengka, di mana Didik Sedyadi, pak guru dan kompasianer ini menunggu. Rupanya ia didampingi Alifia R Ardelia – pemeran utama cerpen Syal Rajutan Fia. “Saya kadang dipanggilnya Alif,” kata gadis berjilbab yang segera membuka-buka buku kumpulan cerpen yang kubawa dari Jakarta itu.
Buku kumcer "Fira ...." diterima Didik Sedyadi di SMAN 1 MajalengkaDi ruang tamu SMAN 1 Majalengka yang mulai dirambati senja, dan adzan Maghrib berkumandang membuat perpisahan dengan Alifia tak terhindarkan. Kami pun – saya dan Didik – salat Marghrib di mushala. Ah, gelap pun genap di sekolah paling terkenal di Majalengka yang berdampingan dengan Universitas Majalengka. Dan, saya diantar untuk istirahat di hotel yang hanya di seberang Taman Dirgantara, masih di Jalan Abdul Halim.
MerekaituSatuGangPendaki
Malam itu, setelah makan ikan air tawar di RM Djaja nongkrong di Taman Dirgantara. Sang pengarang pun bercerita tentang anak-anak didiknya yang dijadikan pemeran dalam cerpen-cerpennya. Termasuk Taman Dirgantara yang malam libur hari Rabu (4/5) tak seberapa ramai orang. Di mana ada nongkrong pesawat perang (non komersial) berdiri.
“Anak-anak dalam cerpen itu sebenarnya satu gang. Mereka kerap naik gunung, termasuk ke Gunung Ciremai,” kisah Didik tentang anak-anak Smansa dalam bukunya yang kuantar ke Majalengka itu.
Dan serenteng kisah di antara mereka, yang meminta dan menginspirasi sehingga terhimpun empat belas cerpen atas dasar permintaan (request) para muridnya. Tentang anak-anak yang berkisah kepada sang pengarang. Bahkan latar belakang keluarga, penamaan, setting serta hal-hal yang kadang terpaksa diumpetin. Demi menjaga privasi. “Tapi ya namanya anak-anak sekarang. Kadang saya terhenyak. Di mana, misalnya, mereka dalam perebutan ... pacar hehehe,” tutur Didik.
Ada gunung Ciremai yang samar-samar pada pagi hari.
“Sayangnya, di sini masih minim yang mengarang,” kata Didik sambil tertawa.
Tak apa. Setidaknya, Didik sebagai pengarang kerap menggoda anak didiknya untuk membaca. Ya, membaca. Sebagai langkah awal mereka untuk bergiat dalam menulis. Semisal, dari sebuah info yang diperoleh ada siswa yang akan ulang tahun. Lalu ia pun meminta anak lain untuk mengerjainya. Seperti membuat pertanyaan yang sulit, sehingga sampai nangis-nangis si anak yang ulang tahun itu, dan di ujungnya, “Saya menghadiahi buku. Kalau ada buku karya saya, apalagi,” kisah Sang Guru yang beristri guru matematika juga. Aduh, teganya yang Pak Guru matematika ini hahaha.