Ini era gadget, media sosial dan …entah apalagi. Yang jelas, tali silaturahmi pun bisa dijalin melalui ”jarak jauh”. Yang bisa berarti dekat sekali, seperti ujung lidah dan kuping yang bisa digelitik menggelikan. Menempel.
Pada selebaran, eh ….lebaran era ini pun bisa nggak usah bersalaman. Cukup dengan SMS-FB-instagram dan tak bersinggungan tangan, tak saling berjabat tangan apalagi bercipika-cipiki. Itu kuno. Cukup dengan: met lebaran ya. Nol-nolo, kosong-kosong dan ada gambar yang bisa indah-unik dan menggelitik.
“Ini si Susi SMS, ngucapin selamat lerbaran. Tolong dijawabin, dong,” pinta istriku.
“Lha, kenapa nggak kamu saja?” sahutku yang sedang asyik ngetik – bukan tulisan ini.
“Bahasanya itu …lho. Aku nggak bisa njawab yang bagus.”
Saya ndak usah ikut nengok SMS di HP istri yang cukup menyentuh abcdefgh dan seterusnya yang bisa ngeloncat-loncat – karena biasa pakai yang jadul alias ndak pake tat-skrin. Bahasa yang digunakan Susi – salah seorang keponakanku, yang mungkin sama dengan temanku yang lebih muda – bisa melambung-lambung. Itu yang membuat kita – saya dan Anda – terperangah. “Kok Susi bisa muitis, ya? Kayak sastrawan yang menggunakan diksi secara cermat? Indah dan …hhhh, pokoknya oye.”
Sejak kapan Susi bisa begitu nyastra?
Sejak SMS itu dilayangkan ke HP istri.
Apa Susi tiba-tiba meloncat menjadi hebat berkata-kata dengan indah?
Ya.
Dari mana?