Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Mala Dara dari Dago

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14292346891928307030

Bagian Dua

Thamrin Sonata

“Ke mana perginya Mala?” desah Dewa yang duduk tak jenak di bangku semen di bawah rindang pohon sekitar Dago itu.

Dewa, bagai bukan seorang pintar. Ia gelisah, di tempat sama dan jam-jam hampir sama ketika ketemuan dengan Mala secara tak sengaja. Ia menjadi lelaki biasa yang ingin mengulang sebuah hasratnya dengan gadis yang mengaku tinggal di daerah Dago. Dago mana, tak jelas. Sebab, walau bernama Dago sulit untuk diubek-ubek. Tak mungkin baginya mendatangi dari pintu ke pintu. Dan mencoba menawarkan nama Mala.

“Di sini rumahnya Mala?”

Gelo. Jawaban tentulah banyak dengan gelengan kepala. Dan sampai kemudian ada yang membenarkan. Meski boleh jadi yang muncul adalah Mala lain. Yang bisa lebih cantik. Namun bukan Mala yang awal dikesankannya sebagai gadis galau. Duduk sendirian, dengan wajah tidak sumringah. Lalu ia tolong, sebenarnya Dewa sendiri yang ingin mencari perhatian: mengutip daun kering di kepala berambut panjang terurai sebahu lebih. Rambut bak selendang mayang. Yang jelas dilihat Dewa saat sang gadis berlari menuju angkot yang menelannya entah ke mana. Rambut yang menari bersamaan dengan gerak ritmik tak ubahnya kijang sedang meloncat-loncat sehabis malam ditelan mentari pagi.

repro lukisan koleksi pribadi (foto:TS)

Rambutnya, ah. Juga bibirnya, hidung bangirnya dan ah, matanya yang bening.

“Aku rasa aku mulai nggak waras, gelo,” runtuk Dewa seraya meninju telapak tangan sendiri. Lalu berdiri. Berjalan kian-kemari, masih di sekitar bangku semen yang membiarkan ia duduk berdampingan dengan Mala, kemarin. Walau hanya beberapa saat. Ingin rasanya berlama-lama. Entah apa pun caranya. Entah kata-kata apa saja yang dimuncratkan. Meski kemarin-kemarin itu lebih banyak berbantahan. Knapa, ow, dan yang paling dicatat dalam dadanya, “kembali kasih” yang ia lontarkan. Dan Mala, yang waktu itu belum menyebutkan nama diri, senang menerimanya. Dari ekor matanya, menyemburatkan cahaya bening. Berbinar. Sesaat.

“Kembali kasih….” Hm, aku kok kayak pejabat yang suka basa-basi juga, ya? Atau seperti politisi yang bermanis-manis padahal hatinya kesaaaal. Kecuali acting sebagai seorang yang mesti berdiplomasi. Apalagi kalau sedang disorot kamera televisi. Huh!

Tapi kembali kasih, itu yang paling tepat. Bukan yang lain. Bukan, ah hanya mengambilkan daun kering saja, kok. Tak seberapa berat. Tak juga begitu salah kan? Apalagi, ia kemudian seperti tersedot harum mewangi parfum dari dara itu. Seperti wangi melati. Atau, ah apalah. Yang jelas, Mala menguarkan aroma yang membuatku: g.e.l.o!

Dewa mengambil pantatnya sendiri untuk dicabut dari bangku semen yang mestinya tidak panas karena terlindungi daun-daun mahoni. Daun mahoni, ayo luruhlah lagi. Berapa pun. Di sini. Dan biarkan engkau melayang-layang, lalu hinggap di rambut Mala. Biar kujadikan alasan mengutipnya. Biar kuintip matanya seperti apa, biar jelas. Saat-saat ia tahu ada seorang lelaki tulen mengambil daun. Mungkin binar-binar seperti dewi yang menyambut kehadiran Dewa.

Lelaki muda, terbilang atletis itu berlalu sambil menyisakan senyum-senyum sendiri. Ia tangguh sebenarnya. Seperti saat bergabung menjadi tim bola gebuk, voli. Ada kumis tertata bak semut mengerubuti gula bareng-bareng di atas bibirnya. Yang ada dalam lingkaran wajah agak bundar dengan hidung bak pahatan pematung ahli. Dan dagu yang tidak banyak dimiliki lelaki, agak terbelah. Ditumbuhi rambut rata pendek membiru.

Dengan sosoknya itu, Dewa pun menikmati gadis-gadis melirik ke arahnya. Karena mencuri-curi atau dengan anggukan manis, sok akrab dan ingin berkenalan. Sudah tak berbilang. Namun ia lebih memilih belajar dengan baik. Untuk segera berlarian dan berkejaran dengan sakit ayahnya yang berharap ia segera menyandang tukang insinyur. Untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Tidak dengan cara yang seperti dirinya. Sukses menjadi ahli arsitekbangunan, namun di ujung usianya sakit-sakitan. Hingga pelan-pelan menggerogoti harta bendanya.

“Mungkin yang membuatku drop, ibumu.”

Ya. Dewa tahu cinta ayahnya kepada ibu. Cinta seorang lelaki yang lebih muda, dan dikatakan oleh ayah seperti Bung Karno terhadap Bu Inggit Ganasih. Cinta seorang lelaki yang berkobar-kobar. Cinta yang kadang terbilang menerabas apa pun yang belaku dalam tatanan yang ada.

“Kamu kalau bisa, ketemulah dengan wanita seperti ibumu.”

“Ya.”

“Seorang wanita yang ….ah, kamu tahulah. Karena kamu cerdas. Kamu juga perasa.”

Dewa tak senang dengan kata-kata itu. Ada siratan. Itulah kata-kata yang akan menuntun sang ayah pada ujung hidup. Lelaki yang terseret oleh cinta. Yang sudah dibawa orang mengeluarkannya dari rahim kasih nan panjang. Kasih seorang ibu yang senang benar menggelung rambut panjangnya. Menyerupai lentik jari-jemarinya yang penuh kasih. Juga mewariskan pada dirinya anak semata mutiara. Tunggal.

“Wanita yang baik adalah wanita yang apabila kaupandang, menundukkan kepala. Mengelakkan tatapan langsung. Kecuali kalau bersirobok, adu pandang tak sengaja.”

“Ya, Bu.”

“Ya Bu itu, apa kau pernah bertemu dengan wanita seperti itu?”

Dewa menggeleng.

“Lho, jadi?”

“Ya, setidaknya Dewa akan mencoba belajar. Menemukan seperti yang Ibu katakan. Wanita yang mungkin masih ada atau tidak. Jenis yang kayak Ibu nyaris habis. Tak hanya di Bandung, Garut, Tasik, Cianjur ….”

Ibu tertawa. Diatur. Tidak tergelak. Itu yang paling disuka dari ibu. Seorang wanita Sunda yang terjaga adab aturannya.

“Kau mesti mengejar wanita yang seperti itu.”

“Mesti?”

Ibu tersenyum.

“Kau tidak ingin punya wanita seperti ibumu ini?”

Gluk. Leher Dewa seperti kemasukan biji kedondong. Yang serba menyulitkan. Ditarik lagi pun, tak mudah. Kalau masuk? Celaka. Bisa tumbuh di kepala.

“Ah, dongeng ….”

“Apa kaubilang? Dongeng? Memang ibumu ini peri dalam dongeng.”

Dewa menampar pipi sendiri. Bersamaan dengan ujung sepatunya terantuk batu. Spontan ia berujar, “Innalillahi waina illaihi rojiun….”

“Gelo!”

Sebuah suara menyangkut ke telinga Dewa. Dua orang gadis jalan beriringan dan terkikik seperti wanita yang berpunggung growong bak dalam film-film norak. Bukan menakutkan tapi menggelikan. Layak untuk ditertawakan karena menjauhkan akal sehat.

Dewa menggeleng-gelengkan kepala.

“Mungkin aku tadi mestinya mengumpat sembari mengutip penghuni bon-bin.”

Lagit Bandung dan sekitarnya masih biru. Ini musim yang mulai ditinggalkan mendung, gerimis dan hujan. Cuaca yang kerap membuatnya gerah saat ada di keramaian Jalan Otista. Atau ada di pusat keramaian sana, Tegalega dan sekitarnya. Di mana suara-suara bercampur bayang-bayang baur: Padang, Jawa, Sunda dan entah apalagi. Para pedagang yang menawarkan dagangan dengan bahasa khas. Merayu, dan sesekali setengah humor yang kelewatan.

“Sepuluh ribu tiga. Diobral, diobral…!”

Langkah Dewa lurus. Hatinya luruh. Bayangan yang muncul selalu Mala. Selalu wanita berok batik lawasan. Batik motik lama, dan kusam. Bukankah itu mencerminkan kecintaan seorang wanita? Ukiran atau lukisan bunga, tapi kusam. Ah, bukan kusam. Itu kesederhanaan. Itu hanya dicintai oleh dara yang senang menjaga martabatnya.

“Mala, Mala …di mana kauberada?” Dewa mendesis ketika kakinya sudah hendak memasuki rumah bangunan lama.  Rumah yang hanya dihuni dirinya. ***

Bersambung

***

Bagian Pertama:

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2015/04/15/cerbung-mala-dara-dari-dago-712437.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline