“HUKUM mesti ditegakkan!” seru para petinggi negeri, termasuk ditegaskan oleh Presiden. Di sini tak ada tafsir lain. Bahwa hukum berada di atas segalanya di Negara hukum ini. Tepatnya: mesti diberlakukan, walau itu menyangkut, misalnya, mereka para petinggi itu. Langit runtuh pun, hukum mesti ada berdiri di situ dan tegak.
Kesannya, heroik betul. Setidaknya, bila hukum itu benar-benar diacungkan tinggi-tinggi. Di mana soal hukum yang berkait dengan masalah pidana, mestilah ada unsur-unsur untuk memenuhinya. KPK mulai punya jargon kuat: kalau ada dua unsur alat bukti materiil, KPK takkan ragu-ragu memproses – siapa pun itu.
Menarik, dan Minggu kemarin tersebutkan sebuah nama nan unik, yakni Sengman. Bukan nama aneh itu benar yang ditampik oleh Juru Bicara Kepresidenan. Namun karena, ada percakapan – sebagai barang bukti – yang mengagetkan. Ada 40 miliar rupiah yang diterima orang kepercayaan SBY bernama Sengman itulah. Soal ke mana larinya uang itu, itu masalah berikutnya. Meski tak boleh diabaikan.
Jelas, pengakuan anak mantan Presiden PKS Ridwan Hakim ini masih sumir atau kelewat dini. Bahwa ada permintaan atau penerimaan Rp. 40 miliar ke Sengman. Namun bukan berarti hukum itu mandeg, kan? Mestinya. Dan perkara “sidang sapi” ini jelas bukan lenguhan yang gampang menguap. Setidaknya, bila benar hukum mesti ditegakkan, dan kendati menyangkut ke wilayah Istana.
Siapa itu Sengman? Jubir Presiden menafikan nama aneh itu. Meski Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan tahu siapa itu Sengman. Presiden dan Ketua DPR sewadah dalam Partai Demokrat, apakah Marzuki tak perlu memberitahu kepada SBY? Bahwa penyebutan, mungkin pasnya pencatutan nama Presiden itu, sudah melampuai batas? Masak masalah sapi sampai masuk ke Istana?
Dengan menyembulnya catutan nama SBY bergandeng nama Sengman itu, akankah wajah hukum negeri ini jadi mencorong. Tegak dan adil, tak pandang bulu? KPK pun selayaknya tak gamang memprosesnya, walau itu menabrak tembok besar dan tebal. Penampikan kecil Juru Bicara atas nama unik dan abu-abu Sengman itu anggap saja sebagai debu. Yang perlu dikejar kenapa sampai ada debu itu. Dari mana asalnya?
Hukum sedang compang-camping, di tengah ekonomi gonjang-ganjing. Namun bukan berarti berhenti dan mandeg. Karena jalurnya masing-masing. Dan mestinya, hukum tetap menjadi panglima dan berada di garis depan, memimpin. Persis seperti yang kerapkali didengungkan pemimpin tertinggi negeri, “Hukum harus ditegakkan.”
Bagi banyak orang, jika hukum mandeg dan tidak dijalankan, kasihan sapi-sapi yang selama ini berkulit putih akan bercak-bercak noda dan bila lebih-lebih berubah menjadi seperti kambing, hitam. Jika ini yang terjadi, celakalah. Sidang “tentang sapi” yang masih berlangsung hanya berhenti di nama Sengman nan ganjil itu. Memangnya Sengman tak tersentuh, tak ada lawan? Taklah.* * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H