Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Meludahi Bintang di Langit

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita Pendek:

Meludahi Bintang di Langit

Thamrin Sonata

LAMA kutatapi bus-bus bersliweran. Setiap yang berhenti tak jauh dari seberangku berdiri, kuamati. Orang-orang yang luruh melalui pintu-pintu yang kadang tak ramah – terdengar suara bantingan: brak.

“Kenapa kau tak kunjung tiba. Ini sudah jam berapa?” desisku. Bersamaan itu, muncul bayangan seraut wajah ceria: ada tawa kecil yang kerap tak terdengar bila tidak dengan hati ini. Ah, Marni. Selalu ada yang kau tohok ke ulu hati. Ini janjian yang keberapa, entah. Sepertinya cela itu hanya bisa dihitung dengan helaan nafas halus yang kuseruput melalui indra yang satu ini. Ada parfum lembut, selembut siput beringsut. Ada aroma yang mengabarkan: aku selalu ingin menjaga sense of art-mu, kaukabarkan melalui wewangian itu.

Aku diam, sekarang. Untuk apa? Ia tak biasanya. Ini, meleset janji. Dengan tidak SMS atau apa pun sebagai orang idealis yang mengerti apa arti janji. Ketemu denganku pula. Lelaki yang kau nyatakan sebagai pilihan dengan serenteng kriteria seorang berpendidikan kolot seperti dirimu. “Aku orangnya tidak gampang menyerah,” katamu. Selalu.

Jika sudah demikian, hanya ada satu kemungkinan: ada sesuatu yang membuatmu meleset janji. Tak biasanya.

Angin seperti menambah keyakinan. Kalau Marni kali ini tak datang.

“Mar, ada apa denganmu?” aku mencoba menganalisa diri. Tentang terakhir pertemuan kita di tempat biasa. Dengan sajian tradisional seperti biasa: wedang jahe dan ubi rebus.

Aku melangkah gontai. Meninggalkan serenteng kebimbangan. Yang terus menguntit: kenapa Marni ingkar janji.

“Mungkin kita akan menjalani masa sulit.”

“Kita?”

“Ya,” desismu, sambil tak menatap ke arahku.

“Apa itu masa sulit.”

Kau diam.

“Kenapa diam? Ini pertanyaan bodoh.”

“Aku sendiri tak mengerti. Lebih baik, aku berusaha sebisanya melewati masa sulit itu.”

Aku mencoba meminta agar ia bisa menatapku. Namun sia-sia.

“Tanpa melibatkanku?”

“Tanpa.”

Itu yang kucatat dari pertemuan kemarin, sebelum janjian yang kusesalkan atas ketidakhadirannya Marni kali ini. Ini seperti kesinambungan yang tak indah. Putus begitu saja. Sebab, ia tak berkabar sepotong pun. Melalui tanda apa pun, di zaman yang berlari dengan teknologi.

Aku menjadi linglung. Seharian. Di jalan yang kurambah entah seberapa panjang langkah kuayun.

Malam kutatapi langit biru dengan bintang yang tak pernah kuhitung. Karena kemalasan. Saat duduk mencangkung berdua berpunggungan dengan Marni di Pantai yang melirih ombaknya.

“Kalau ada ikan melompat-lompat, pastilah ikan manja ….”

“Kok?”

“Ya, karena air laut sedang tenang.”

“Beri aku penjelasannya.”

“Sebab tak ada alasan. Alam selalu sepadan dengan penghuninya.”

Aku menelan ludah. Pandai benar Marni. Itu yang kusuka dari gadisku. Yang selalu bergerak dari berdiamnya arus yang tak menantang.

Telepon melengking-lengking seperti kuda birahi. Kutengok, dan kudapati nama: Ni.

“Ya ….”

“Kita putus, Teja.”

Aku menelan ludah.

“Kita putus ….”

“Boleh.”

Lama diam. Aku dan dia.

“Kau suka dengan itu?”

“Kau mudah menyatakannya?”

Marni tak menyahut.

“Hanya dengan janji, dan tak bertemu tadi. Itukah?”

Marni mungkin menggeleng di sana. Namun percuma.

Lalu telepon berhenti. Diputus olehnya.

“Hm,” desisku, lucu.

Kujengkangkan badan ke belakang. Sehingga punggung sejajar dengan bumi. Kutatap langit masih biru, dan sejuta bintang menari-nari. Dengan irama tak beraturan. Mungkin waltz. Mungkin samba. Ah, mungkin pula kuda lumping.

“Kau linglung, kan?” SMS Marni, masuk.

“Kau gemblung, Mar….” balasku.

Lama. Seperempat jam lima detik. SMSnya masuk lagi.

“Aku pikir, kita sudahi kegemblungan kita.”

“Setuju.”

SMS-SMS bersliweran. Semua menjadi tak penting. Karena kenapa bukan sebuah pertemuan. Dengan segala persoalan yang mestinya bisa diselesaikan oleh dua orang yang sama-sama tidak bermasalah. Paling tidak untuk hubungan dua insan paling tidak rasional. Marni yang berbeda jauh denganku yang luntang-lantung. Meski kadang orang menganggap hebat. Apa hebatnya? Di mata orangtuanya, aku ini seorang luntang-lantung. Tak pantas dipungut untuk menjadi seorang menantu bagi Marni yang berpendidikan dan seorang yang punya profesi terhormat.

“Jadi, kita putus?”

“Ya.”

“Kau tega.”

“Tidak.”

“Lalu kenapa mesti putus.”

“Karena harus melawan takdir yang diciptakan ayahmu.”

Diam. Lama.

“Kita lawan takdir itu.”

“Aku bukan ksatria atau pecundang.”

Marni berhenti. Lama.

“Ya.”

“Ya, apa Mar?”

“Kita putus.”

Aku pencet-pencet seluruh huruf di keypad HP.

“Ah … kau serius tak ingin ketemuan lagi. Untuk terakhir kali.”

“Kapan?” aku mencoba tegar.

“Tadi siang.”

Langit kuludahi. Aku berharap mengenai bintang yang paling mencorong. Buh! ***

Pondok Gede, 24.2.14

·Untuk M yang mungkin ingin mendengar kegemblungan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline