Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Buku Kompasianer Wanita

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13960830231212594811

repro: TS

PEKERJAAN mengedit naskah buku, pekerjaan gampang-gampang sulit. Memang modal utama adalah bahasa. Di mana sebuah tulisan menjadi “berbunyi” karena kata-kata dalam kalimat tak sekadar enak dibaca. Namun ada “sesuatu”. Maka, editor selazimnya juga pengolah sebuah produk, dalam hal ini buku, tak cuma isi darinya.

Boleh jadi, mengeditori buku kepanjangan dari pekerjaan redaktur di media cetak, sebagai bagian dan kelanjutan. Artinya, mengotak-atik, membuang, menambah dan “menyulap” kalimat supaya bisa dikomunikasikan kepada calon pembaca (audience). Itu bagian mikronya. Sedangkan bagian makro, satu tulisan itu menjadi sebuah niatan thema yang digagas. Menjadi bangunan utuh dari sebuah tulisan.

Yang Wanita Saja

Tersebutlah buku 36 kompasianer Merajut Indonesia, pada Oktober 2013. Sebuah buku dari himpunan kompasianer yang menulis tentang keberagaman, bagaimana negeri ini “dirangkai” dalam sebuah pemikiran, uraian pengalaman dan sumbangsih dalam literasi. Rupanya, ketika buku ini dilihat sebagian kompasianer lain yang belum terhimpun, minat: kok saya nggak diajak. Mendatangkan haru. Pembicaraan di sebuah cafe di bilangan Blok M Kebayoran Baru, Jakarta Selatan  itu, menyembulkan ide di kepala saya. Bagaimana Yang Wanita Saja yang menuliskan?

Gayung bersambut. Karena waktu itu belum Hari Ibu (22 Desember) bagaimana jika thema itu yang diangkat. Namun mereka toh ragu. Apa bisa dengan tenggat waktu yang mepet. Namun sebagai yang melontarkan ide, mestilah dituangkan dalam sebuah proposal – atau apa pun namanya. Lalu saya sebarkan via email masing-masing yang dianggap wanita, hehehe, untuk menulis.

Di sinilah kesulitan sebagai penggagas, muncul. Berbarengan dengan itu, saya menggarap calon buku kompasianer lain: Gaganawati. Wah, ya kadung. Garap. Lebih repot, buku yang ditulis Gana dan minta dieditori itu adanya di Jerman. Tentulah, ruang dan waktu itu "bisa" mendatangkan komunikasi tidak selancar bila dekat, dan murah.

Memikirkan Secara Utuh Sebuah Buku

Ke teknis yang lebih dari sekadar editor. Di sini menghimpun serakan-serakan mereka yang minat menulis thema wanita – yang bertanggung jawab terhadap anak bangsanya. Maka tajuknya pun jelas: Merawat Indonesia. Ketika buku Gana selesai, konsentrasi ke buku 25 wanita ini. Lah, ternyata beberapa “ketinggalan” di belakang. “Saya sudah bayar, tapi belum setor tulisan”.

Apa boleh buat. Ditunggui.

Maka, tinggallah bagaimana mengolah materi dari berbagai penjuru. Ini era serba teknologi. Meski yang terjadi, bukan soal percepatan dengan bantuan teknologi IT – yang terhambat itu. Namun pada bagaimana mengelola sebuah kebiasaan. Sebagai orang pekerja media – notabene “mencari” naskah serta mengedit – dan redaktur terbiasa dengan pekerjaan tekanan waktu. Namun bila tak ada yang dikerjakan? Sebab, mental, disiplin dan kebijakannya berbeda. Redaktur media cetak (mainstream) di-souce dari reporter/ stringer atau penulis. Sedangka ini, dari penulis-penulis -- dalam hal ini kompasianer -- yang terserak: ruang dan waktunya. Ndak gampang dimanajeri. Itu dia.

Mesti sabar. Termasuk misalnya ada kata-kata dan data tentang sesuatu hal yang kurang dimengerti. Buka-buka kamus, atawa mencari referensi yang terkait.

Jika naskah sudah dipermak, dengan kalimat yang lebih nggenah, jelas, maka diserahkan kepada tukang lay out. Dari naskah dengan program MS Word dijadikan Corell Draw. Sepertinya, teknologi (software) cukup banyak membantu di era computer (grafic). Namun jangan terlena. Karena kadang meloncat. Semisal huruf berubah jika tidak ada tipe huruf (font) yang ada. Dan seterusnya. Mesti di-convert, biar aman. Itu belum nanti teknis di percetakan.

Editor yang merangkap-rangkap pun, memikirkan bagaimana sebuah wajah atawa sampul buku (cover) dan sampul belakang (back cover). Thema yang ada, disesuaikan dengan kebutuhan. Apakah bentuk visualisasi yang nyentrik (baca: nyeni), atau yang pop, rada-rada mudah dimengerti bagi calon pembaca. Ini bisa dirancang dan dikerjakan saat naskah di-lay out (ditata). Agar halaman demi halaman runtut, saat dicetak dan di-binding, dijilid.

Saat naskah siap dioper ke plat – sekarang ada teknologi tidak menggunakan film, namun langsung dari lay out ke plat. Istilahnya Computer to Plate (CTP). Meloncat lagi, kan? Mempercepat waktu.

Maka ditungguilah naskah isi (jadi sebagai cetakan) dan cover untuk kemudian gabung dan ditata. Lalu dijilid, dipotong dan diplastikin. Sebagai sebuah buku nan elok.

Perjalanan pembuatan buku ini, sungguh membutuhkan sebuah seni tersendiri. Pak Tjiptadinata Effendi – notabene sudah menulis buku beberapa judul: pusing membuat buku itu. Dan, saya berpusing-pusing dengan buku oleh-dari wanita untuk para anak negeri ini.

Mereka orang-orang biasa, meminjam istilah Lis, salah seorang penulis di buku ini: Wanita biasa yang luar biasa. Karena C.i.n.t.a.

Rasanya: YA! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline