foto: repro - mapsekolah.karimunkab.go.id
BESOK, Senin, 14 April 2014 dan dua hari berikutnya, ada sebuah peristiwa yang selazimnya diterima sebagai sebuah proses “biasa”. Yakni UN (Ujian Nasional) bagi anak didik SMU dan sederajat. Disebut biasa, karena ini bentuk dari sebuah “ujian” tahunan, yang berulang. Di mana setelah belajar hampir tiga tahun, maka mereka menghadapi apa yang kemudian – kenapa – begitu menjadi momok di siang bolong. Bagi mereka khususnya.
Dari peristiwa itu, serenteng asa mengerucut: mesti lulus. Jika tidak? Maka ada seturunannya: malu, mesti “mengulang” dan kecewa disertai bingung. Mungkin ada yang lebih fatal, semoga tidak. Dan itu, bukan masalah dari yang bersangkutan saja. Ada orang tua dan keluarga serta sekolah atas nama institusi dari anak didik sebagai elemen pentingnya. Singkatnya, “jangan sampai tidak lulus.”
Maka, dalam beberapa tahun belakangan ini, para muda-ers ini dalam menghadapi “peristiwa” biasa ini menjadi amat luar biasa. Setidaknya, berpikir keras agar bisa melewatinya. Maka satu di antaranya berdoa. Karena peserta UN banyak, maka bisa dilakukan bersama-sama alias bareng-bareng. Doa bersama. Tak ada yang salah.
Inilah pemandangan yang indah, mestinya. Doa bersama, untuk sebuah kebaikan. Meski bisa menjadi “berlebihan” dari sebuah proses sebuah ujian bagi pelajar atau anak didik “sekolah”. Berdoa sendiri, jelas, diperlukan. Bahkan jika berdoa dikategorikan sebuah pengakuan dan permohonan di luar kemampuan dirinya untuk sebuah niatan baik, itu pertanda ia relegius. Sebab, berdoa untuk keburukan, rasanya aneh. Dan dalam pemeluk agama Islam, “tidak diperkenankan”.
repro: nikoariston.blogspot.com
Menjadi soal, jika doa dijadikan “alat” sulap untuk sebuah tahapan anak didik dalam menempuh UN. Apalagi, jika kemudian dalam berdoa yang “berlebihan” menjadi kufur. Ini jelas tidak diperkenankan. Sedangkan UN itu sendiri, semestinya sebuah ukuran dari sebuah bentuk “kebijakan” yang ada. Persisnya, dalam hal ini sekolah atau Departemen/ Kementerian yang memang membentuk dan “mendidik” anak bangsa dengan sebuah sistem.
Maka, sesungguhnya, ketika ada yang gagal alias tidak lulus dari sebuah UN – atau apa pun nama dan parameternya – sesungguhnya bukan sebuah aib yang mesti ditanggulangi secara berlebihan. Sehingga “doa” dan upaya belajar dalam menghadapi UN, selazimnya dilewati dengan cara yang wajar.
Pemahaman ini, justru kerap bukan untuk anak didik itu sendiri. Namun pada keinginan-keinginan orangtua-institusi dan yang terkait. Jika dalam menghadapi hal ini seperti itu, gagallah sebenarnya kita dalam bersekolah. Mendidik anak bangsa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H