Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Monorail, di Tengah Kutukan Kemacetan Politik

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14021333251265335931

APA maunya monorail? Berjalan di rel yang satu tunggal itu. Menjadi indah, mungkin, kalau membelah Jakarta di antara gedung-gedung menjulang, dan kemacetan jalan raya kian menggila. Mengangkut puluhan, ratusan atau ribuan orang dalam sehari. Ya, bila sejak sepuluh tahunan lalu. Fakta sekarang, ibukota Negara belum juga ada moda transportasi jenis yang konon tidak berisik ini. Kenapa?

Penyiar Motion Radio, John Aryananda, Prof. Tjipta Lesmana, Dharmaningtyas, Lukas Hutagalung, dan moderator Laksana Hari W  (foto: Edrida Pulungan)

“Pada awalnya, proyek monorail ini tidak politis,” ungkap Dharmaningtyas, pengamat transportasi, “Proyek itu ada sejak zamannya Gubernur Sutiyoso,” imbuhnya yang pernah berbincang dengan Gubernur Bang Yos, tahun 2004.

Kemacetan, Menggila

Inilah acara “nangkring” paling berisik yang diadakan PT Jakarta Monorail (JM) dengan kompasiana dan diikuti sejumlah media massa ibukota di Outback Steak House, Kuningan City, Sabtu (24/5). Perhatikan saja tajuknya, “Jakarta Monorail: Persoalan Infrastruktur atau Politik”.  Maka tak pelak unsur-unsur politik menjadi mengemuka. Lebih-lebih ketika pakar komunikasi politik Prof. Tjipta Lesmana (Universitas Pelita Harapan)  yang biasa ceplas-ceplos angkat bicara. “Kemacetan di Jakarta sudah menggila. Dan monorail, jelas dibutuhkan. Mengingat perkembangan jalan hanya 0,6 persen pertahun. Sementara mobil terus bertambah. Tak cerdas pemimpinnya, kalau solusinya pindah ibukota,” ujar lelaki yang mengemudikan sendiri sedan kecilnya, dan datang sebelum waktu acara dan sempat berbincang dengan penulis dari toilet ke teras Outback Steak House.

Sampai di sini bisa dimengerti. Mengingat Jakarta adalah ibukota yang super macet. Di mana orang yang beraktivitas di Jakarta lebih senang menggunakan transportasi non-massal alias kendaraan pribadi. Dalam catatan Ditlantas Polda Metro Jaya , tiap hari mengeluarkan nomor plat kendaraan pribadi baru sebanyak 6.000 sampai 7.000 unit. Terdiri atas 1.000-1.500 untuk mobil dan sisanya kendaraan roda dua.

Terhitung di tahun 2013, ada 16 juta unit kendaraan perorangan ini. Di mana bisa dibagi dalam 11. 000.000 sepeda motor dan 3. 000. 000 mobil. Belum bus 360.000, dan mobil barang 617.000 plus 133.000 kendaraan khusus. Betapa uyel-uyelannya negeri Jakarta, sehingga tiada hari tanpa kemacetan. Maka dalam catatan Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) kecepatan rata-rata mobil di jalan raya di tahun 2014 pada titik mengerikan: 5km/jam.

Monorail, sebagai angkutan massal, walau dengan rel tunggal bisa mengangkut 228-an orang dengan 8 gerbong. Atau mampu mengangkut 60. 000 orang perhari.  Dan cukup “kompetitif” atawa sebagai moda angkutan massal yang juga punya kelebihan. Termasuk, seperti disebutkan Direktur Utama PT Jakarta Monorail John Aryananda, menggunakan terknologi yang tidak berisik, saat meliuk-liuk di relnya, termasuk ketika menikung.

Bagi John Aryananda, dalam hal kenapa proyek monorail macet, seperti pada posisi menunggu. Walau, tentu, bukan seperti Waiting for Godot-nya Samuel Beckett yang absurd itu. Karena jika ada keputusan dari Pemda DKI, ya go on! “Diizinkan, kita jalankan. Tidak diizinkan, kita batalkan. Yang dibutuhkan di sini hanyalah rasa saling percaya,” urainya. PT JM sudah menawarkan (proposal), meski sayangnya mampet, mengganjal.

Persetujuan “awal” PT JM dengan Gubernur Joko Widodo agaknya terganjal oleh Wakil Gubernur Basuki Tjahja Purnama. Secara singkat Ahok, demikian Wagub yang sekarang plt Gubernur DKI Jakarta menilai, PT JM kurang modal. Seperti terungkap dalam beberapa rilis di media massa, dan ia merasa dibenturkan soal yang bagai kutukan ini: cara politis. “PT JM belum meyakinkan, tak memiliki modal yang cukup.”

Di sini Tjipta Lesmana mencoba memetakan dan menandaskan secara bukan angka-angka, “Masalah apa pun, jika ada kemauan, bisa,” yang geram karena masalah keruwetan transportasi ibukota seolah hanya tanggung jawab daerah, “seperti SBY menyebut kemacetan ibukota kesalahan gubernur, nggak bisa!” lanjutnya.

Staf Ahli Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta dari Bappenas Lukas Hutagalung, mengakui bahwa ini masalah rumit: Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diibaratkan sebagai mempersandingkan calon sepasang pengantin. Perlu saling pengertian dengan bagaimana merencanakan sebuah “pesta” dua belah pihak mestilah duduk tenang dengan kepala dingin. Dalam soal kerja sama ini, ia sadar bahwa Jakarta membutuhkan infrastruktur massal, monorail dalam hal ini. “Ada swasta yang mau mengerjakan, harus bersyukur,” ungkap pembicara berbaju batik itu, tenang.

Bukan Menghadapi Kutukan

Untuk mengurai dan “membantu” kemacetan Jakarta, sesuai dengan kelanjutan termasuk proyek yang sudah dirintis tahun 2004. Di mana menurut rencana, monorail dibangun melayani pergerakan bagi warga di pusat kota. Istilahnya, Jalur Hijau melingkar di tengah kota, sementara Jalur Biru membentang dari timur ke barat pusat kota. Meski hal ini disebutkan Dharmaningtyas, sebagai pilihan terbatas, atau tidak mampu mengatasi kemacetan secara signifikan, dan cumalah, “Jalur makan siang.”

Istilah jalur makan siang, menarik. Karena itu sebuah keterbatasan alias tidak efektifnya monorail jika jadi, dan sekaligus sebuah pertanyaan yang mesti dijawab. Perlu ada hitung-hitungan. Meski hal itu dijawab John, bahwa yang massal yang lain pun tidak ada yang efektif. Itu, bila tak ada kesinambungan titik singgung antarmoda transportasi yang ada.”Harus ada integrasi. Monorel kerjasama dengan DKI. Monorail ketemu di persinggungan Busway, Keretaapi dan seterusnya,” yang mengurai, bahwa menjadi lumrah. Apabila swasta (PT JM)  jadi menunaikan proyek yang 10 tahun ini baru dibuka lagi di era Jokowi, 2013 mendapat untung. Termasuk mendapatkan konsesi dengan mengelola bidang properti di wilayah-wilayah tertentu, sebagaimana halnya proyek mal, misalnya. Karena kalau mengandalkan tiket (semisal Rp.9.000/ sekali jalan) tidak memadai. Padahal, proyek ini bisa memakan waktu 50 tahunan.

Maka, monorail bukan lagi murah. Bahkan terus melambung. Di mana apabila mengacu eranya Bang Yos sekira 4 triliun, kini sudah bisa di kisaran sampai 15 triliun untuk “mengerjakan” proyek ini. Dan repotnya, ya belum juga ada sempritan kata “ya” itu tadi. “Kami memang tidak punya sebesar yang disebutkan Pemprov DKI Jakarta. Namun kami kan bisa konsorsium.” Di mana luar area nangkring, PT JM menggandeng pihak luar, China Communications Construction Company (CCCC).

Acara yang berlangsung cukup panjang dan menghangat itu diseling dengan on air di Motion Radio, 97.5 FM. Artinya,  niatan mencari solusi untuk mencapai titik terang diharapkan muncul. Bagaimanapun, pihak swasta ini sudah berbuat di awal – dan kerap dianggap mangkrak seperti sebuah kutukan. Agar tawaran bagi konsorsium PT JM jelas dan berkesimpulan. Tidak digantung seperti yang terjadi hingga acara nangkring ala kompasiana dan diikuti media lain berlangsung.

Bila mengambil angka-angka yang ada:

a.Angka alat transportasi, jumlah kendaraan

b.Angka jalan, infrastruktur

c.Angka ekonomi, pembangunan fisik dan bayaran pengguna

d.Angka kerugian kemacetan, bisa sosial dan kesehatan

Maka menjadi tak dimungkiri alias sah. Bahwa dalam soal transportasi (baca: monorail) ini menjadi “politis”. Sebab ini menyangkut masalah penyelengaraan Pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas. Lebih-lebih Jakarta sebagai ibukota menggangsir terbesar masalah ekonomi nasional, dan keserbapolitisan lainnya. (Perebutan Daerah dan Pusat). Mungkin di sini dibutuhkan niatan yang selazimnya menjadi win-win solution. Selain trust seumpamanya disebutkan Direktur Utama PT JM. Dan seperti penegasan Prof. Tjipta Lesmana. Apa pun kalau punya niat, bisa. Sehingga ujungnya masyarakat dalam aktivitasnya di wilayah ibukota menjadi sedikit berkurang kefrustrasiannya dalam keruwetan dan kemacetan di jalan raya yang bagai tak berujung. Karena itu, proyek monorail dalam kategori angkutan massal ini, sesungguhnya bukan kutukan. Bisa dilaksanakan. Dengan kepercayaan yang terjaga. Ayo: bisa! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline