“KANCIL yang suka menipu, kita hilangkan,” tandas Jusuf Kalla, dalam memaparkan pembelajaran budi pekerti di dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Di mana pendidikan adalah faktor penting, dan pembelajaran budi pekerti bisa masuk ke dalam semua lini, tidak an sich pada pelajaran sejenis PMP belaka. Namun bisa ke pelajaran sejarah, matematika, dan bahasa.
Kalimat ini penggalan dalam acara DEBAT, dibarengi sorot panning camera ke arah kubu Jokowi, di mana ada sungging senyum wajah-wajah di situ. Memang siapa kancil itu? Ah, bisa bertafsir ke arah tokoh tertentu. Kira-kira, saya pun punya tafsir yang tak berbeda dengan senyum beberapa orang yang tertangkap camera dalam siaran langsung pada sekitar pukul. 21.02, Minggu (29/4) ini.
Tiga hari lalu, saya bertemu dengan Faisal Basri dan berbincang ringan. Ia yang menjadi salah satu pengisi (baca: penulis) dalam buku yang saya editori bersama Moch. Khoiri dan dikata pengantari Pepih Nugraha bertajuk 36 kompasianer Merajut Indonesia, menyebutkan bahwa JK bukan yang terbaik dalam mendampingi Jokowi. Namun, “Setidaknya itu lebih baik daripada pasangan lawan di sana,” tandas Sekjen PAN di awal berdiri dan kemudian digantikan oleh Hata Rajasa, mendampingi Amien Rais. Catatan tambahan: JK pun menjadi salah seorang penulis dalam buku yang saya editori itu.
Menjadi menarik JK-Faisal-Hata kaitannya dengan Revolusi Mental yang digariskan oleh kubu Calon Presiden-Wakil Presiden Nomor 1. Jalin kelindan ini, bagi saya sebuah oase yang ditawarkan untuk diuji, jika Revolusi Mental menjadi “pemenang”. Apakah benar, bangsa ini sedang runtuh mental. Dan kian kentara ketika memasuki acara Pilpres yang kebetulan hanya diikuti oleh dua pasang calon. Di mana masing-masing saling sebut diri yang paling lurus, dan tidak menjurus ke arah menyerang lawan yang sesungguhnya memiriskan kita yang mencoba tetap dengan common sense “yang benar”. Contoh yang berhamburan, sungguh bukan pembelajaran yang baik bagi banyak pasang mata, telinga dan indra lainnya. Di mana saling olok, lempar batu dan sembunyi tangan serta kosa kata yang mencengangkan.
Maka, kisah atawa dongeng Sang Kancil, menjadi sebuah idiom yang perlu untuk dikaji – di era sekarang ini. Apakah ia masih perlu sebagai bagian fabel yang lebih ke kecerdikan atau penipu sebagaimana selama ini tokoh yang melegenda itu. Sehingga Revolusi Mental sebuah jawaban – mesti perlu penjabaran yang sesuai dengan situasi Anak Bangsa ini?
Salam, Kompasiana. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H