Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Kompasianer Tomo Dalam Kenangan

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14091852431733532188

SEKIRA sepuluhan hari lalu, saya bertelepon. Sebuah jawaban dengan nada suara kurang ceta, kurangjelas, dari seberang. Saya pun menyatakan ngapunten, maaf, karena mengganggu tidurnya. Padahal, saya hanya ingin mengabari, bahwa ada temen Kompasianer baru menerbitkan buku. “Saya lagi di Cilacap, Kang? Priwe?” sahutnya, menjelaskan sekaligus menanyakan balik ke saya.

Lanjutnya, “Saya lagi berobat di Cilacap. Saya memang gagal ginjal, tapi ndak cuci darah. Itulah kenapa tadi ketiduran. Keringetan.”

Itulah pembicaraan terakhir dengan sosok lelaki tinggi berbadan cukup kekar dan dengan rambut kepala pendek. Ia lulusan “Sekolah Guru” yang kemudian “tersesat” menjadi penyiar radio di pinggiran Jakarta. Lalu berada di sebuah perusahaan besar di bilangan SCBD, dan ia sempat terlempar menjadi “komandan” acara di Bhakti Saka Bahari Nasional, 2012 (lihat buku: 36 Kompasianer Merajut Indonesia) yang saya editori.

Perkenalan saya dengan Tomo, 47 tahun, ia memang usianya di bawah saya, ya di Kompasiana dan dalam kaitannya dengan penerbitan buku yang hingga ada di rak National Library of Australia itu. Tulisannya sempat mengagetkannya. Karena pengalamannya ikut Kapal KRI dr. Soeharso 990 yang tidak bisa diikuti oleh sembarang orang itu dibukukan.

Foto bareng almarhum Suwartomo (berdiri sisi kiri Jeng Ngesti, sisi kiri banner). Sehabis acara di coffee tempatnya bekerja. Ada Isson, Indah Noing, Maria, Tytiek, Puri Areta, dan Dwi Klarasari selain suami Mbak Tytiek dan dua anak Indah Noing. (foto: doc TS)

“Kang, kalau begitu, buku itu dilaunching di tempatku saja …,” tawarnya.

Saya langsung mengiyakan. Apalagi ia menjadi komandan di Café di bilangan Blok M itu secara cuma-cuma. Itu karena inisiatif dan kebaikannya. Sehingga belasan teman Kompasianer – baik yang menulis dalam buku 36 Kompasianaer Merajut Indonesia maupun yang tidak, hadir dan merasakan kehangatan Si Penjaga Gawang bernama Suwartomo. Pembicaraan di akhir Tahun 2013 lalu gayeng. Tomo sebagai tuan rumah membuka acara dengan suaranya yang jelas – khas seorang penyiar.

“Ayo, bae. Silakan,” sahutnya ketika saya menyatakan ingin ketemuan lagi dengan teman-teman Kompasianer di café tempatnya kerja. Sehingga pernah singgah Masjokoku yang datang dari Riau, Isson Khairul, Maria Margaretha, Indah Noing, Puri Areta, Tytiek, Dwi Klarasari, Rokhmah, Ngesti Setyo Moerni dan lainnya.

Sikap terbuka dan tangan terbuka Tomolah yang membuat kami kerap singgah hanya untuk menyeruput minuman – yang kadang diracik sendiri. Termasuk minuman tradisional yang ditawarkan, dan ditangkap dengan sigap pemeduli lingkungan Jeng Ngesti. “Ini menyehatkan. Anak-anak sini saja, minum jadi sehat,” katanya menyebutkan anak buahnya atas minuman hangat tradisional racikannya itu: kunyit asem dan sejenisnya.

Tomo orangnya asyik. Orangnya enak, dan baik. Karena itulah Allah Azza wajalla memanggilnya lebih awal dari kita. Selamat jalan, Tomo. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline