Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Bacaan Anak, Asal Membuat Pintar?

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1409799473743170004

Sumber: http://goo.gl/5oKY1r

Tahun 1980, saya nyantrik pada Bung Smas, sohib Arswendo Atmowiloto. Penulis ratusan novel anak – juga novel remaja dan religius serta skenario sinetron – itu streng dalam bertindak sebagai “guru”. Ia yang menjadi redaktur mingguan ibukota, saat itu sudah memenangkan lomba nulis novel remaja yang diketuai Paus Sastra Indonesia, HB Jassin. Bahkan novel itu kemudian difilmkan dan skenarionya menjadi terbaik di FFI, ditulis Parakitri Tahisimbolon.

“Lebih baik melakukan kesalahan yang lain, dan yang lebih besar sekalipun. Daripada kesalahan nggak bermutu itu!” omelnya. Dan itu membuat saya 3 (tiga) hari tak tidur nyenyak. Apa kesalahan yang membuatnya marah?

Saya nyantrik, belajar  nulis dan kaitannya dengan penerbitan pers, dengan Bung Smas yang menjadi redaktur media untuk anak-anak, kala itu. Karena merasa punya asisten seperti saya yang rumahnya di Pemalang, Jawa Tengah dempet, ia percaya saja. Namun untuk urusan “isi”, saya masih “kecil”. Sehingga ketika lay out – mengatur tata letak – Koran mingguan ada gambar/ ilustrasi dari sebuah dongeng yang membuatnya marah berkepanjangan. Yakni ketika ia menjumpai seorang tokoh “menenteng” kepala lawan yang dikalahkan – dalam sebuah dongeng. “Itu sadis, dis!” tandas Bung Smas.

Perkaranya sederhana, tampaknya. Hanya pembenar dari naskah, dan digambarkan dengan tokoh menenteng kepala orang. Ya, itu sadis, memang. Artinya, secara psikologis “tak mendidik” anak. Itu pelajaran berharga dalam hal menulis untuk (segmen) anak-anak. Bahkan bukan bagi saya saja. Karena illustrator – yang menggambar adegan pemenggalan kepala – itu pun tak urung dari omelan Bung Smas. Padahal, Pak Leo itu pelukis senior dan pernah berjuang di 45, di Surabaya. (Memang nggak ada hubungannya. Namun itu membuatnya bergumam membenarkan Bung Smas, lebih muda, sebagai atasannya: Ya kita salah, Mas Thamrin).

Bahasa

Bacaan atau tulisan anak-anak memang khas. Ia membutuhkan bahasa anak-anak. Mungkin itu sebab, Romo Mangun mengakui. Penulis Terbaik Buku Utama Terbaik novel Burung-burung Manyar itu menyebut: menulis untuk anak-anak jauh lebih sulit dibandingkan dengan prosa dan puisi. “Karena kita yang bangkotan, harus menurunkan ego. Cara berpikir kita mesti seperti anak-anak.”

Dengan kata lain, dalam menulis anak-anak, kita menggunakan bahasa anak-anak. Bahasa yang lebih sederhana dan psikologi anak-anak sebagaimana “mestinya”. Kepiawaian, kecerdasan dan kehebatan “seorang penulis” tak menjamin menghasilkan bacaan anak-anak berkualitas, dan itu diakui oleh seorang YB Mangunwijaya. Bahkan seorang penulis terkenal Jerman, merasa terhenyak ketika anaknya tidak mengenal dirinya sebagai seorang penulis novel handal. “Ayah menulis novel anak-anak dulu, baru saya angkat jempol”.

Dalam menulis bacaan anak, kadang ada aturan-aturan yang acap ditabrak-tabrak nggak menentu. Dianggapnya, sebuah bacaan (untuk) anak mesti yang super hero, fantastis dan hebat – sesuai dengan imajinasi anak-anak. Namun ada kaidah-kaidah yang kerap diabaikan. Dianggapnya “esensi”lah yang penting. Bukan “proses” dan dan kemasannya – termasuk bahasa dan pertimbangan psikologis.

Maka dalam sebuah workshop serius yang kuikuti, saya mendapatkan gambaran. Misalnya, kalimat untuk (bacaan)  anak, tidak boleh panjang. Maksimal 16 kata, sudah termasuk tanda baca dan kata ulang. Sebab, bila kepanjangan, anak anak sulit mencerna – dan melelahkan. Jika sudah demikian, bukankah “kalimat” tulisan menjadi multitafsir dan bahkan bisa bias.

Ilustrasi dibutuhkan mengingat anak bisa bosan apabila melulu teks. Dan ilustrasi/ gambarnya pun umumnya: menggembirakan, mencerahkan dan menyenangkan. Maka illustrator bacaan anak-anak menggunakan garis yang sederhana, selain warna-warna yang menarik perhatian anak. Bahkan kemudian bisa dikelompokkan lagi. Yakni anak yang belum SD dan mereka yang sudah bisa membaca. Meski begitu, isinya tetap yang edukatif – di samping yang menggembirakan.

Buku bacaan anak, seperti disebutkan pengajar UI Dr Murti Bunanta, Kelompok Pencinta Buku Anak (KPBA) tidak mesti sebagai buku fisik nan formal. Namun bisa berbentuk “aneh” untuk menarik dan mengajak seorang anak untuk “membaca”nya. Misalnya bentuk cover seperti apel untuk menggambarkan tentang isinya yang “apel” atau buah-buahan. Atau seperti bus dan kereta api, tentang alat transportasi, dan seterusnya.

Era TI

Tak pelak, bacaan anak mengalami tantangan di era Teknologi Informasi (TI). Isi (muatan) kerap menjebak penulisnya. Saya yang kerap mendongengkan kepada anak-anak sendiri, waktu itu, sangat mudah bercerita dan atau mendongengkan dongeng  klasik. Walau, kadang menyelipkan “kebaruan” yang sedang terjadi. Sehingga untuk dongeng Kancil, bisa “berubah-ubah” muatannya. Dan anak, tetap senang mendengarnya.

Namun dalam menuangkan tulisan, tetap mempertimbangkan aspek-aspek edukatif secara “benar”. Tak bisa asal modern dan tampak cerdas. Karena dampak dari sebuah “cerita” tak membuahkan secara spontan. Dari kumpulan (akumulasi) isi baru akan “terjadi” di kemudian hari – ketika kita sendiri rada lupa atau melupakan. Semisal anak (yang sudah dewasa) cara berpikirnya agak keras.

Tidak mudahnya mendidik anak dengan (isi) bacaan yang disesuaikan zamannya, misalnya terjadi pada lirik lagu anak-anak. Pada lirik lagu karya AT Mahmud, Ibu Sud, Bu Kasur begitu indah dan mengena sesuai dengan bahasa anak-anak. Ini bisa disimak, misalnya: Pelangi-pelangi, alangkah indahmu/ merah kuning hijau di langit yang biru/ pelukismu agung, siapa gerangan/ pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.

Atau:

Satu-satu, aku sayang ibu

Dua-dua aku sayang ayah

Tiga-tiga, sayang adik-kakak

Satu-dua-tiga, sayang semuanya.

Betapa indah dan tetap mengena penggambaran – di samping nada/ lagu yang sederhana lagu “Pelangi” itu. Pun lagu “Satu-satu”. Berbeda dengan lirik-lirik lagu anak zaman sekarang, yang seolah-olah mesti mengikuti zamannya. Namun secara idiom dan diksi kerap mencengangkan jika disimak secara kritis. Dan yang jelas, tidak monumental. Hanya sesaat. Sesuatu yang baik, hampir selalu umurnya panjang.

Benang merah dari bacaan anak yang baik, meliputi aspek-aspek bahasa, psikologi dan isi yang bersifat “edukasi”. Tak bisa sembarangan dan apalagi hanya mengandalkan kecerdasan IQ. Namun justru EQ dan SQ. Selain muatan lokal yang sesungguhnya (bisa) membumikan anak dari godaan dunia yang menyusup di gadget anak yang (sering) sesungguhnya saatnya belum pas. Karena bacaan (fisik/ klasik/buku) anak sendiri, filter baginya dari orangtua sebelum memberikan kepada anak.

Bacaan anak di era sekarang yang kian diemohi oleh orang tua yang pragmatis, sepertinya membuahkan bangsa yang jauh dari edukasi. Pilih mana? Pinter tapi keblinger atau? Anda yang meneruskan jawabannya. ***

Catatan: buku yang saya tulis lebih banyak berupa novel anak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline