SEJATINYA Pak Tjip, Tjiptadinata Effendi, kelahiran Padang. Tujuh puluh satu tahun lebih lalu. Kini bermukim di Wollongong, Australia. Ia kompasianer “senior” dalam hal usia. Namun semangatnya 45 benar. Tandanya? Menulis bak tanpa jeda. Bahkan ketika perjalanan dan melewati Bandara – hendak ke Kompasinival – pun diceritakan. Dengan fasih, dan menyentuh.
“Meski sudah senior, ia tidak pernah lelah berbagi pengalaman hidupnya yang dramatis dan berwarna dalam bentuk postingan di Kompasiana,” tulis Pepih Nugraha untuk buku Beranda Rasa Pak Tjip.
Pak Tjip dan Bu Roselina, di Tenggarong. (foto: doc. pri)
Jelas sudah. Pak Tjip sudah ditandai oleh punggawa Kompasiana. Dan rasanya Kompasianer lain pun bersetuju dengan Kang Pepih. Jika semangatnya menulis di Kompasiana, melaburi yang muda-muda. Ditambah tulisannya yang memang berwarna: full colour. Apa saja ditulisnya, termasuk perjalanan hidupnya yang memang giris, dramatis. Oleh karenanya tak heran apabila kemudian Pak Tjip berbagi dan menjadi motivator di berbagai penjuru tanah air. Foto-fotonya memperlihatkan ia berangkulan dengan saudara kita yang berambut keriting dan berkulit beda dengannya.
Kendati baru dua tahun di Kompasiana, tulisannya sudah di angka tujuh ratusan. Bukan kuantitas itu benar jika usia sudah berkepala tujuh. Namun kebermanfaatan tulisannya. Dan Pak Tjip sesungguhnya bukan penulis baru benar. Kenapa? Sudah beberapa judul buku diselesaikan. Dan bahkan beberapa best seller – buku yang diterbitkan di Elexkumputido itu.
Bila kedatangannya dari Woollongong khusus ke Kompasiana, bukan apa-apa. Kecuali karena kecintaannya bersahabat dengan siapa saja, termasuk yang muda-muda: yang disebut cucu-anak. Karena ada Kompasianer yang dengan berharap dan meminta Pak Tjip sebagai ayahnya, seperti dalam tulisan: Sebuah Kebahagiaan Tulisan Kita di Kompasiana Mampu Menjadi Motivasi Bagi Orang Lain.
Di Kompasianival, Pak Tjip akan berbagi, bersalaman dan bukan sebagai nominator Kompasiana of The Year, dan apalagi untuk merebutnya. Tidak! Terlalu kecil bagi lelaki yang selalu didampingi orang yang ditembak sejak di SMA di Padang: Roselina. Karena perjalanan hidupnya yang, sekali lagi, dramatis itulah yang lebih berharga ketika disebarkan kepada Kompasianer. Pahit-manis dan rasa asam-garam kehidupan dengan enteng dibagikan. Agar tidak mengalami hal serupa. Namun bisa untuk memotivasi orang lebih banyak, termasuk 265 000an Kompasianer.
Inilah arti ajang Kompasianival. Di mana orang seperti Pak Tjip sedang menebarkan kebaikan, kecintaan dan kedamaian dalam ragam aneka penduduk negeri ini. Walau Kompasiana adalah “dunia maya” atawa media sosial yang kerap diasosiasikan tempat orang mengumbar apa saja, selera keinginannya. Bagi lelaki penjelajah dunia – pernah hanya berdua sebagai orang Indonesia – ikut perjalanan di kapal pesiar nan megah ke Alaska – fotonya kerapa ditampilkan dalam akunnya.
Buku Pak Tjip di antara yang diterbitkan di Peniti Media. Akan ada dipajang di Kompasinival (doc.TS)
Rasanya takkan habis bercengkerama dengan sosok yang satu ini. Maka, ketika tulisan-tulisannya dikumpulkan dan menjadi buku ini, sebagai bagian dari keberbagian Pak Tjip.
Salam, Kompasiana! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H