Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Melawan Korupsi dengan Lupa?

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418089109595905838

Tikus, simbol pas untuk para koruptor. Tapi mereka takkan pernah malu dijadikan tikus. (repro:TS)

ORANG Jogja selalu ada cara dalam mengungkapkan ekspresi sebuah momen. Termasuk ketika menyambut Hari Antikorupsi yang pada hari ini yang akan dipusatkan d Jogja – dan akan dihadiri Presiden Jokowi, presiden dari Solo. Yakni sebuah tikus-tikusan besar teronggok di Titik Nol.

Jika pencurian ikan – dan pemerintah sekarang sudah mengambil risiko – kapal asing itu dibom, sebuah warning tak main-main. Namun menguntit para koruptor, bukan perkara mudah. Mengingat ia – menjadi tikus – yang bergerilya di saat orang terlelap tidur. Tikus bisa makan apa saja: dari makanan, sampai kabel sekalipun. Ia memang makhluk yang pas untuk simbol para greedy itu. Rasanya, penambahan gaji dinaikkan pun tak banyak membantu secara signifikan. Kecuali mereka disikat habis.

KOMPAS kemarin, Senin (8/12) sudah menjembreng Jajak Pendapat. Di mana bisa dimulai sejak anak (pelajar) suka mencontek yang mencapai angka 77,3 persen. Lalu plagiat di kalangan generasi mendatang, akademisi: 54,1 persen tersebar luas. Jadi apalagi perihal korupsi waktu di kalangan pegawai, meski ini jenis yang kerap dipermaklumkan: waktu. Angkanya 81,9 persen. Sayang, hukuman yang  dikenakan kepada tikus ini belum membuat membuat efek jera: 89,3 persen.  Jadi, dari jawaban responden 736 orang itu masih mengindikasikan negeri ini tak goyah walau sepuluh tahun pemerintahan SBY yang meneriakkan: Katakan tidak Korupsi, tak mempan. Karena sejumlah menterinya – bahkan anak menteri – ikut terseret masuk ke hotel prodeo.

Masih untung ada KPK, yang kinerjanya dipahami responden jajak pendapat KOMPAS itu. Bahwa lembaga antirasuah ini disebut baik (citra positif KPK, 87,6 persen) dan tingkat kepuasannya mencapai 73,1 persen.

Namun rasanya sulit kalau kita hanya berpegang pada hasil kerja KPK belak itua. Walau disebut-sebut sekian triliun rupiah terselamatkan oleh lembaga ini dengan hasil kerja kerasnya. Karena di harian ini pula, hari Selasa ini, disebut-sebut Kabupaten kini berperan aktif sebagai tikus-tikusnya. Dan lebih mencengangkan lagi, setelah Surya Dharma Ali (SDA) menelikung orang untuk beribadah haji, eh sekarang ada rektor Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon menjadi tersangka untuk urusan mencuri duit.

Jadi deretan rektor – wilayah intelektual – tergerogoti oleh tikus pula. Menyusul dari kasus di Purwokerto (Universitas Jenderal Sudirman, hm, kasihan nama besar Panglima ini), lalu Univesitas Syiah Kuala, Aceh – yang merupakan Serambi Mekah, dan wakil rektor UI (universitas paling terdepan di negeri ini). Belum akan merambah naik di atasnya.

Jadi berpegangan pada apa dan siapa? Mungkin negeri ini membutuhkan menteri yang tidak diukur dari covernya. Yang jelas, berani dan bekerja. Sehingga awal menenggelamkan kapal, adalah sebagai titik awal dan warning. Bahwa kini saatnya negeri ini bebas tikus. Termasuk bila narkoba yang dikendalikan dari balik terali besi, kalau tak bekerja dengan aparat penguasa di lembaga. Ini sebuah anomali dari sebuah negeri. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline