Lihat ke Halaman Asli

Thamrin Sonata

TERVERIFIKASI

Wiswasta

Artis Tak Kapok, TV Merampok Hak Publik

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Iklan Ngunduh Mantu Raffi & Nagita saya baca pagi ini, Selasa 30/12 di sebuah koran harian. Acara tersebut akan ditayangkan TV swasta nasional dari Bumi Sangkuriang, Bandung. Jelas, ini adalah “kelanjutan” dari acara pernikahan Raffi, selebritas yang berpasangan dengan Nagita – sebelumnya bukan nama terkenal dan bukan siapa-siapa. Lalu ada prosesi kelahiran Ashanty di sebuah rumah sakit. Apa yang bisa dibaca dari acara hura-hura itu?

KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menerbitkan teguran tertulis karena program tersebut dinilai tak bermanfaat bagi publik – bersifat privat. Namun toh TV yang menayangkan 14 jam live – yang membosankan – itu justru dianggap sebagai sebuah acara mengeruk duit. Di mana seperti yang dikatakan, “Banyak yang terhibur. Buktinya, rating acara ini sangat tinggi,” ujar Public Relations Manager Trans TV.

Artinya jelas. Bahwa teguran KPI seperti angin lalu. “Lu boleh tegur. Gue tetep menghibur” seolah-olah menjadi jargon media pandang-dengar yang satu ini. Toh, nggak bakalan menutup media yang konon memberikan hiburan bagi masyarakat.

Jika mengaitkan dengan acara serupa – yang menayangkan keluarga selebritas – yakni kelahiran Ashanty, pasangan Anang Hermansyah yang sekarang menjadi anggota DPR, maka akan mendapatkan hal serupa. Yakni ketidakgubrisan mereka: artis dan TV. Sama-sama membutuhkan. Kalau tidak, bukankan mereka tak perlu menayangkan acara secara live tentang hal yang tak banyak guna untuk publik seperti yang diminta KPI? Berjam-jam pula.

Dalam Indikator Majalah TEMPO (29 Desember 2014 - 4 Januari 2015) cukup jelas. Bahwa acara seperti kelahiran anak Ashanty sebagai yang diemohi: 90,3 persen dari 926 responden. Dianggap siaran langsung kelahiran Ashanty melanggar etika penyiaran. Hanya 7,3 persen yang menganggap Tidak, dan 2,4 persen yang mengategorikan Tidak Tahu.

Membaca yang beginian, kita memang masih dalam pemirsa (audience) TV yang suka hiburan dengan H besar. Yang penting, ada yang ganteng atawa cantik. Soal prestasi atawa perilaku nyeleneh, nomor berikutnya. Dan itu ditangkap dengan tangan empuk oleh pengelola TV swasta. Jadilah.

KPI, dan masyarakat yang emoh dengan tayangan tak bermutu seperti itu, menjadi tak berarti apa-apa bagi mereka, pengelola TV. The Show Must go on. Peduli amat. Biarkan masyarakat bloon.

Kita kehilangan tuntunan di era yang demikian terbuka dan masif serta global sekarang ini. Seolah era digital boleh memperlakukan apa saja: asal menguntungkan, kenapa tidak? Jika demikian, maka yang akan terjadi adalah sebuah pembodohan secara masif kepada generasi berikutnya. Ini repotnya apabila media yang menggunakan ranah publik dibiarkan. Bukankah langit frekuensi tidak hanya (bisa) disabot oleh mereka yang kebetulan memiliki modal? Sehingga hal-hal yang bersifat personal seenaknya disuguhkan. Celakalah republik ini.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline