Lihat ke Halaman Asli

Thalita Umaveda Al Hayya

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga-20107030053

Tentang Disrupsi, Sanggupkah Para Milenial Bersaing?

Diperbarui: 9 Maret 2021   12:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: pasardana.id

Saat ini dunia tengah mengalami fenomena disruption (disrupsi), dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti, suatu hal yang tercabut dari akarnya. Atau dapat dikatakan peralihan dari mode lama ke mode baru. Orang-orang yang mau tidak mau harus beradaptasi dalam fenomena tersebut, atau mereka akan tertinggal. Dan salah satu faktor mendasar adalah adanya perubahan digitalisasi, yang hampir mengubah seluruh tatanan kehidupan.

Prof. Rhenald Kasali dalam Buku Disruption juga menjelaskan secara singkat, yakni sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem-sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpontensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disrupsi menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Pada akhirnya disrupsi menciptakan suatu dunia baru ; digital marketplace.

Perubahan yang sangat cepat dari generasi X ke generasi milenial kini tidak dapat terelakkan. Disusul dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang menciptakan teknologi canggih dan tentunya menjadi nilai saing yang tinggi. Orang-orang asing yang saat ini sedikit demi sedikit mulai memasuki bangsa Indonesia membuat warga pribumi yang seluruhnya belum terjamah teknologi dan mengenal disrupsi mulai tersingkir.

Sebagai contoh bisnis yang sudah tertelan akan adanya disrupsi antara lain Nokia, Kodak, Taksi Konvesional dan lain-lain. Bisnis tersebut kini sudah tak terdengar akibat disrupsi yang semakin lama kian meluas. Alhasil, kita kini berada pada dua pilihan. Berubah atau tertinggal?

Dampak dari kehadiran revolusi industri jilid 4 sudah sangat terasa, terutama bagi kalangan dunia usaha. Misalnya saja, fenomena jual beli online yang telah menjadi trend baru masyarakat dalam berbelanja. Penjual dan pembeli tidak lagi hadir secara fisik. Mereka bertemu dan bertransaksi secara online via internet. Dan sudah pasti kehadiran toko-toko online tersebut akan menggerus market pasar retail konvesional.

Sementara, bisnis ke arah digital adalah kemampuan pemanfaatan data. Tidak dapat dipungkiri bahwa data semakin menjadi kebutuhan penting dalam berbisnis. Sehingga, mau tidak mau, perusahaan perlu memanfaatkan data untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dalam operasional yang dijalani.

Sesuai dengan hasil penelitian terbaru International Data Corporation (IDC) World Wide Semi Annual Big Data and Analytic Spending Guide, menyebutkan pendapatan bisnis teknologi data berukuran besar beserta analisisnya secara global mencapai 150,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp. 2.000 triliun pada 2017. Nilai tersebut melonjak 12,4 persen dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Menurut Peter Diamandis, co-founder Singularity University, telah membuktikan bahwa kemajuan tegnologi secara eksponensial ini melalui enam tahapan. Yang mana dapat disebut dengan "6D of Exponential Growth", yakni diantaranya :

1. Digitalization, yakni transformasi dari analog menuju digital di hampir semua sektor.

2. Deception, yakni banyak orang yang terlena karena awalnya terlihat pelan, sampai pertumbuhan eksponensialnya menyentuh "knee of the curve" atau "titik lejit".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline