Kelihatannya rakyat Aceh belum sepenuhnya bisa hidup tenang meskipun sejak tangagal 15 Agustus 2005 sudah ditandatangani MOU antara GAM-NKRI di Helsinki,karena terdapat komunitas tertentu yang masih kurang senang Aceh itu mengurus dirinya sendiri.Sebelumnya masalah Pilkada bagaimana diacak-acak sehingga tertunda beberapa kali,meskipun akhirnya pilkada berlangsung juga dengan demokratis dan dimenangi oleh Partai Aceh.
Tujuan mereka mengacak-ngacak pilkada supaya PA tersingkir dari Aceh,tetapi hal itu mengalami kegagalan total dan kini para petinggi GAM yang berkuasa di serambi Mekkah tersebut.Selanjutnya anaggota DPRA yang mayoritasnya dari politisi PA berhasil merumuskan Qanun sesuai MOU Helsinki,yang selanjutnya mereka membuat bendera sebagaia simbol ke-Achean-nya.Terkait soal bendera itu yang kononnya mirip dengan bendera GAM sehingga rejim Jakarta ikut campur tangan dan sampai sekarang belum juga tuntas.
Terkait masalah bendera tersebut terdapat pihak-pihak yang hendak membentuk sebuah propinsi baru di Aceh pedalaman seperti gayo luas,sebagai embriyo yang sengaja direkayasa oleh rejim nasionalis sekuler pimpinan Megawati sebelumnya. Berbagai aksi protes terjadi disana ,sehingga muncul ketegangan di kawasan gayo luas dan Aceh barat selatan.Namun di basis-basis PA keberadaan bendera itu mendapat dukungan kuat menyusul disahkannya oleh mayoritas anggota DPRA.
Jakaraata tidak senang dan menghendaki perubahan,tetapi pemerintah Aceh menolaknya karena bendera sesuai dengan Qanun merupakan pilihan mayoritas anggota DPRA .Dan memaksakannya,maka pemerintah Aceh minta diadakan referendum untuk mengentaskan masalah tersebut.Masalah itu belum selesai muncul lagi masalah qanun tentang Perda Syariat yang menurut beberapa LSM yang didanai asing itu bahwa Perda Syariat telah makin meningkatkan kekerasan di Aceh.
Menurut Rostina Rasyid salah seorang LSM dari LBH Apik ,bahwa qanun busana islami dan qanun Khalwat banyak menyasar perempuan,sesuatu hal yang sengaja diada-adakan mereka yang memang menjalankan misi asing donatur LSM-LSM tersebut.Padahal mereka mestinya tidak lagi mengusik aturan-aturan yang merupakan hasil aspirasi mayoritas rakyat Aceh,dan sekiranya mereka memang peduli kepada masalah pelanggaran HAM di Aceh lebih baik mengusut berbagai masalah selama konflik di Aceh itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H