Lihat ke Halaman Asli

Teza Salih Mauludin

Ruang berbagi dan berdiskusi

Human Rights Mainstreaming: Universalisme vs Partikularisme?

Diperbarui: 22 Februari 2024   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berbicara mengenai Instrumen Hak Asasi Manusia sebenarnya banyak sekali dalam konteks universal seperti halnya Hak untuk hidup, hak Kebebasan dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan martabat, hak Kebebasan dari perbudakan, hak Kebebasan dari produk hukum berlaku surut hak Kebebasan berfikir, berhati nurani, dan beragama atau tidak beragama. Dan hak yang dimiliki manusia itu tanpa perbedaan berbasis ras, agama, bangsa, jenis kelamin, maupun orientasi seksual. Namun persoalannya ketika diratifikasi instrumen-instrumen HAM tersebut dalam suatu produk peraturan sebagai upaya untuk melindungi hak seseorang belum begitu besar dan masif pengaruhnya. Beda halnya pengarusutamaan di bidang-bidang lain, seperti "gender mainstreaming"ketika diratifikasi dan diterapkan memiliki dampak dan pengaruh besar terutama terhadap program-program pembangunan dan pembedayaan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, terkait dengan intrumen persoalan gender lebih dapat diterima dilevel komunitas kecil sepertihalnya sudah menjangkau pedesaan dibanding dengan intrumen-instrumen lainnya. 

Sebelum menjawab itu, memang saat ini konsep HAM mempengaruhi setiap aspek hubungan internasional dan melintasi setiap aspek hukum internasional kontemporer. Rasanya tidak ada dalam hubungan internasional yang tidak menyentuh HAM. Perkembangan HAM di skala internasional, berkembang juga pada skala regional, seperti banyak diskusi atau putusan pengadilan yang berkaitan dengan implementasi HAM. 

Alasan perlindungan HAM menjadi senjata ampuh di level internasional yang menembus kedaulatan negara demi harkat dan martabat manusia. Universalitas HAM ditekankan secara terus menerus sejak diadopsinya DUHAM 1948. Terlepas dari popularitas keberterimaaan secara universal, namun terdapat opini yang berbeda mengenai interpretasi konsep dan ruang lingkup HAM. Weston mengatakan bahwa ketika terdapat penerimaan yang secara meluas terhadap prinsip HAM tidak dapat dikatakan sudah ada kesepakatan secara komprehensif/penuh mengenai sifat karakter dai substansinya. Artinya bukan berarti bahwa sudah ada kesamaan pendapat dari sifat HAM/karakter dan substansi HAM.

Oleh karena itu, terkait dengan persoalan pengarusutamaan instrumen HAM "gender mainstreaming" itu lebih besar pengaruhnya dibanding intrumen lain bahwa gender mainstreaming lebih berdampak untuk pembangunan dan pemberdayaan berkelanjutan sampai menyentuh wilayah komunitas kecil. Penulis ambil contoh terkait dengan isu perkawinan anak terutama perempuan. Hal itu dianggap merupakan tindakan pelanggaran hak kemanusiaan karena perkewinan anak menyebabkan seperti halnya pendidikan anak berakhir, eksploitasi seskual lewat kehamilan, perkembangan fisik anak tertutup, dan lain sebagainya. 

Kasus perkawinan dini juga terjadi di Pulau Jawa, terutama di Jawa Timr dengan presentase tertiggi terkait dengan perkawinan anak karena disebabkan kontruksi budaya, ekonomi, pendidikan, dijodohkan orang tua, dan adat. Mereka menganggap jika tidak taat pada orang tua atau adat tertentu dengan menolak hal tersebut akan mendapatkan akibat dari penolakan tersebut, seperti misalnya mitos akan perawan selamanya. Bahkan disuatu daerah merasa bahwa pendidikan bagi perempuan kurang terdapat manfaatnya, pada akhirnya kembali lagi pada sumur, dapur dan kasur. Oleh sebabnya mengapa persoalan gender misalnya lebih luas pengaruhnya dibanding instrumen lain dan langsung dapat diterima oleh komunitas kecil karena berdekatan langsung dengan mereka sendiri, dengan budaya mereka, dan dengan adat mereka. Mereka secara langsung merasakan ketika ada kebijakan yang mungin bertolakbelakang dengan adat mereka akan langsung dipertahankan. Tentu terkait dengan hal ini isu utamanya antara Universalisme dan Partikularisme. Antara keduanya tidak dapat dihilangkan tetapi dapat diminimalisir, karena keduanya muncul karena perbedaan konsep yang berkaitan dengan kompleksitas dan keberagaman masyarakat serta peradaban manusia. 

Ada yang mengatakan lebih fokus pada jaminan HAM agar tidak terjadi pelanggaran HAM dimasa depan, namun tidak dapat menegasikan perbedaan konsep kemudian harus disimplifikasi, karena perbedaan tersebut akan menimbulkan problem serius dan berkelanjutan. Didalam DUHAM karena sebagai common understanding, maka harus dicapai melalui kesadaran untuk terus melakukan harmonisasi dari perbedaan konsep untuk mencapai hal tersebut guna suatu perlindungan HAM secara penuh setiap manusia.

Selanjutnya terkiat dengan aspek HAM seperti prinsip-prinsip, kategorisasi dan beberapa perdebatan penting terkait HAM, untuk diimplementasikan di komunitas dalam pelaksanannya terdapat keterbatasan dan tidak dapat dielakkan. Seperti prinsip non diskriminasi bahwa seharusnya seseorang tidak dapat diingkari hak atas perlindungan haknya karena faktor ras, jenis kelamin, bahasa, agama dllnya yang menajadi hambatan dalam pengarusutamaan instrumen HAM karena banyaknya suku, ras, budaya yang berbeda. Selain itu, prinsip universalitas HAM yang mengharusnya seragam oleh masyarakat dunia seperti kebebasan orientasi seksual ditengah partikular adat dan budaya di Indoensia. Terkait prinsip interrelated & interdependence yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya seperti kesetaraan gender, hak perempuan dan hak anak menjadi suatu keterbatasan dalam pelaksanannya.

Kemudian mengenai strategi yang memungkinkan untuk membumikan "human rights mainstreaming", termasuk di level desa, sebetulnya UNDP mendorong negara-negara dalam upaya mereka untuk mendasarkan program dan kebijakan pembangunan nasional mereka dalam hak asasi manusia -- sering disebut sebagai 'pengarusutamaan' hak asasi manusia khususnya dengan berfokus pada prinsip-prinsip non-diskriminasi, partisipasi dan akuntabilitas. Secara praktis, ini berarti bahwa UNDP mendukung mitra pemerintah pengemban tugas utama untuk merancang dan melaksanakan pembangunan nasional terutama kelompok yang paling terpinggirkan dan rentan. 

Terkait dengan perkawinan anak, di negara Malawi menerapkan kebijakan preventif yaitu menyediakan pendidikan geratis bagi anak teruatama perempuan, sedangkan terhadap perkawinan anak yang sudah berlangsung yaitu kebijakan terbukanya kesempatan pendidikan pagi anak terutama perempuan yang sudah melahirkan, dan terkait dengan aspek kesehatan. 

Beda halnya di negara Mozambik dengan melakukan kampanye pentingnya pendidikan sebagai pencegah perkawinan anak, dan menyelenggarakan pendidikan seks dan reformasi hukum. oleh karenanya, agar interumen- intrumen HAM dapat sampai kepada level komunitas seperti desa untuk membumikan  "human rights mainstreaming" diperlukan dukungan berbagai steakholder agar instrumen HAM lain sampai ke Desa seperti misalnya dengan desentralisasi program-program berkaitan dengan HAM.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline