Pada awal pekan lalu, Pemerintah secara resmi mengajukan permohonan untuk melakukan revisi APBN Tahun 2022. Alasan yang dikemukakan kepada DPR oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati adalah akibat kenaikan harga komoditas global menyebabkan dampak serius pada perekomonian negara.
Tentu saja usulan perubahan anggaran itu telah dibahas bersama oleh anggota Badan Anggaran DPR RI dengan Menteri Sri Mulyani di rapat rapat Badan Anggaran DPR RI selama beberapa hari terakhir. Selama pelaksanaan dan disuksi intens dalam ruang rapat Banggar tersebut, saya dan rata rata anggota Banggar dapat memahami dan merespon dengan positif apa yang disampaikan pihak pemerintah.
Usulan pemerintah yang meminta revisi dan perubahan serta penambahan anggaran tentu saja dapat dimaklumi karena memang terjadi kenaikan harga komoditas di pasar regional dan global yang berpengaruh pada ruang ruang fiskal yang selama ini sudah ditetapkan dalam APBN tahun 2022. Karena itu, secara umum, rencana dan permintaan pemerintah untuk meminta penambahan anggaran itu dapat dimaklumi.
Akan tetapi, meski kami di Banggar rata rata dapat memaklumi keinginan pemerintah dan berdasarkan pada situasi keuangan global yang terpengaruh oleh kondisi politik dan keamanan luar negeri saat ini, tetap saja Pemerintah harus jeli dan berhati hati dalam menetapkan kebijakan apalagi berkaitan dengan kepentingan ekonomi nasional.
Kita tahu, beban subsidi, dan kompensasi yang harus ditanggung dalam APBN 2022 akibat menahan gejolak harga komoditas mencapai mencapai Rp 443,6 T. Hal ini tentu saja menambah persoalan baru yang tak kalah serius. Terlebih pada nomenklatur Anggaran Perlindungan Sosial pada Tahun 2022 harus segera disesuaikan sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat dalam menjaga daya beli akibat situasi global.
Harus diakui bahwa akibat invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak Februari silam telah membawa dampak tidak hanya pada negara negara Uni Eropa atau kawasan yang menjadi episentrum perang kedua negara tersebut. Namun juga berdampak dan menimbulkan terhadap perekonomian domestik Indonesia.
Karena itu, langkah antisipasi yang ditetapkan pemerintah harus dibahas secara cermat agar setiap keputusan terkait keuangan negara yang ditetapkan tidak sampai menguras kas dan menganggu keuangan negara.
Salah satu perubahan yang diajukan Menkeu adalah terkait asumsi dasar ekonomi makro, yaitu harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP). Pemerintah mengajukan perubahan ICP dari US$ 63 per barel menjadi kisaran US$ 95 per barel-US$ 105 per barel.
Menkeu beralasan bahwa akibat perubahan adalah harga minyak dunia tentu saja membawa konsekuensi untuk segera merubah asumsi nomenklatur yang sama di APBN sehingga harus segera dilakukann penyesuaian guna menghadapi perubahan belanja subsidi dan kompensasi energi.
Saat ini, pemerintah memperkirakan adanya kenaikan subsidi energi khususnya bahan bakar minyak (BBM), LPG, dan listrik sekitar Rp 74,9 triliun. Selain itu, ada kebutuhan untuk menambah biaya kompensasi BBM sebesar Rp 234 triliun.