Lihat ke Halaman Asli

Rekayasa Sosial dalam Pembangunan Amerika Serikat Melalui Institusi Demokrasi Neokonservatif

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam suatu pemerintahan liberal yang dijalankan Amerika Serikat, selalu terdapat peran kaum neokonservatif yang melakukan rekayasa sosial. Rekayasa sosial terbentuk dari sebuah gerakan dengan visi tertentu yang bertujuan untuk mempengaruhi perubahan sosial, tetapi dalam konteks social engineering (rekayasa sosial) yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, adalah dengan melakukan penyebaran demokrasi terhadap negara-negara yang masih diktator. Dengan dilakukannya hal tersebut maka terdapat kritik maupun kecaman yang dilakukan oleh masyarakat Amerika Serikat seperti yang dikutip Francis Fukuyama dalam penulis di The Public Interest yang mengatakan bahwa ...Social engineering...American social programs for bringing about unintended consequences that undermined their original purposes”. Hal ini berarti memberikan tanggapan bahwa rekayasa sosial menyebabkan konsekuensi yang terlalu berbahaya dan melenceng dari tujuan utama pembentukan awal rekayasa sosial tersebut.

Pandangan lain mengenai rekayasa sosial menurut James Q Wilson adalah bahwa rekayasa sosial tidak seharusnya dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat karena bukanlah kebijakan politik yang efektif, karena kebijakan politik yang efektif harus berfokus terhadap langkah-langkah jangka pendek, dan bukannya terhadap akar dari permasalahan yang memerlukan perombakan yang membutuhkan jangka waktu yang panjang. Rekayasa sosial merupakan alat dari kaum neokoservatif untuk mewujudkan demokrasi yang ada walaupun menemui banyak kritik.

Dalam melakukan rekayasa sosial, peran neokonservatif sendiri tidak lepas di dalam tubuh pemerintahan Amerika Serikat. Neokonservatif dapat diartikan sebagai paham politik yang menunjukkan kecenderungan untuk menerapkan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang keras, yang menggambarkan tanggung jawab pemerintah federal Amerika Serikat untuk menyebar visi tentang kebebasan individual dan melindungi rakyatnya dari ancaman eksternal.[1] Neokonservatif beranggapan bahwa demokrasi liberal cenderung dilakukan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dari masyarakatnya, sehingga terjadilah penyebaran demokrasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara tiran dengan cara merasuk ke dalam sistem pemerintahan serta institusi negara-negara tersebut.

Pembentukan rekayasa sosial juga tak lepas dari adanya peran institusi. Seperti yang dikatakan Francis Fukuyama “...There are certain critical intervening variables known as institution that must be in place before a society can move from an amorphous longing for freedom to a well-functioning, consolidated democratic political system with a modern economy”. Hanya dengan lewat institusi pemerintah bisa mengontrol kebijakan dan memastikan bahwa kebijakan itu dipatuhi oleh masyarakat. Institusi sendiri tidak akan terbentuk tanpa adanya penekanan yang kuat terhadap pembentukannya.

Kaum neokonservatif juga menginginkan Amerika Serikat mempromosikan baik institusi demokratis dan juga pembangunan ekonomi yang berkelanjutan ke seluruh dunia. Francis Fukuyama juga mengutip Kristol-Kagan dalam seri bukunya Present Dangers “...for example, has a discussion of tools to be used to promote democracy around the world; theese consist of, first and foremost, the ability to project military power, followed by allies and ballistic missile defense.”[2] Hal tersebut memberikan diskusi mengenai suatu perangkat yang mempromosikan demokrasi ke seluruh dunia dengan cara memproyeksikan kekuatan militer. Institusi Amerika Serikat juga mempromosikan rekonstruksi, pembangunan perekonomian, dan dukungan masyarakat sipil.

Perlu diketahui bahwa demokrasi yang menjadi objek penyebaran pemerintah Amerika Serikat, dipercaya menjadi jawaban bagi keinginan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik, dan demokrasi dipercaya oleh kaum neokonservatif sebagai hak-hak dasar manusia walaupun kaum neokonservatif sendiri mengabaikan nilai-nilai fungsi sipil yang kritis. Demokrasi juga disalahpahami sebagai suatu sistem yang menguntungkan sebuah negara karena dibebaskannya negara tersebut dari kediktatoran.

Dalam melakukan rekayasa sosial melalui institusi, Amerika Serikat dipandang oleh Francis Fukuyama melakukan dua pembangunan, yaitu economic development dan political development. Pembangunan ekonomi (economic development) sendiri sudah dimulai melalui berbagai rangkaian tahap sejak pembubaran kolonial Eropa yang dimulai pada tahun 1940-an. Pembangunan perekonomian sangatlah diperlukan karena melaluinya, pemerintah Amerika Serikat bisa mengatur masyarakatnya. Masalah yang ditemui pada pembangunan ekonomi ini adalah tanpa adanya institusi yang kuat dan kemauan politik yang keras, kebijakan-kebijakan tidak bisa diadopsi atau diterapkan dengan benar.

Francis Fukuyama menganggap bahwa institusi di dalam perekonomian adalah mesin penggerak utama dari suatu bentuk rekayasa sosial, dalam tulisannya “Institution (that is, formal and informal rules constraining individual choice) had been relatively neglected in neoclassical economics until the rise of the so-called new institutional economics assosiated with the economic historian Douglas North. Institutional economics arose fortuitously out of theorizing about the firm and became the dominant mode by which economist conceptualize the phenomena of hierarchy that political scientist had traditionally analyzed using different terminology”. Institusi adalah satu dari sekian banyak bentuk dimensi pengembangan, tetapi institusi bersifat sangat krusial terhadap pemecahan masalah pertumbuhan dan perkembangan perekonomian. Huntington dalam karyanya menyebutkan implikasi dari kebijakan dan pengembangan otoritas-otoritas politik yang kuat sangatlah diperlukan untuk pembangunan ekonomi dan sebagai landasan dasar demokrasi.[3]

Dalam bentuk pembangunan yang kedua berupa political development, dimaknai sebagai pembangunan politik yang dilandasi oleh adanya institusi demokrasi seperti dilakukannya pemilu dan pengadaan legislatif, di mana apabila sebuah negara ingin memiliki sebuah demokrasi maka harus dimilikinya terlebih dahulu sebuah institusi yang menjalankannya. Dalam hal ini, pengembangan politik seharusnya yang menggerakkan pembangunan perekonomian yang menyebabkan adanya transisi demokrasi serta pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Lipset bahwa adanya korelasi antara pembangunan dan demokrasi yang disebabkan pembangunan politik akan mengakibatkan kesuksesan pertumbuhan ekonomi.

Transisi demokrasi dipandang oleh Francis Fukuyama seagai terobosan, dan fase konsolidasi. seperti contoh kasus dalam masa pemerintahan George W. Bush di mana setelah tiga tahun dilakukannya invasi Amerika Serikat ke Irak, hal-hal mengenai perubahan demokratis negara Irak tidaklah terbukti, tetapi akhirnya terjadi kekacauan di negara tersebut. Kritik terus turun terhadap kebijakan Bush yang menekankan kekuatan militer yang terus menerus digunakan. Peran soft power yang berguna sebagai kekuatan tidak terlihat, dianggap oleh Francis Fukuyama dapat menyebabkan kekacauan terhadap negara-negara yang berhubungan dengan Amerika Serikat dalam kontek penyebaran demokrasi.

Pengalaman Amerika Serikat dalam mempromosikan demokrasi dan pengembangan politiknya dapat diidentifikasi dari kesuksesan-kesuksesan yang diraih Amerika Serikat sendiri dalam melakukannya. Hanya terdapat sejumlah kecil kesuksesan yang diraih oleh Amerika Serikat dibandingkan dengan jumlah besar kegagalan dalam menjalankan penyebaran demokrasi dan pengembangan politiknya. Amerika Serikat dan dunia internasional mengembangkan berbagai alat politikuntuk mengedepankan perubahan rezim demokrasi sejak awal tahun 1980-an, yang dilakukan melalui pemilu, jajak pendapat, bantuan sosial media yang berpengaruh.

Dari kasus-kasus yang sudah terjadi, kesuksesan penyebaran demokrasi memiliki tiga kerakteristik yang bisa dijadikan sebagai pembanding, yaitu:

1.Adanya inisiatif yang datang dari masyarakat yang bersangkutan.

2.Bentuk dukungan eksternal hanya bekerja di rezim semi-otoriter yang memerlukan tahap pemilihan serta adanya kebebasan bagi kelompok masyarakat sipil untuk berorganisasi.

3.Daya penerimaan kekuatan pro-demokrasi dari negara luar, sangat bergantung kepada sejarah spesifik masyarakat dan jenis dari nasionalisme penduduk setempat yang ada.

Seperti contoh kebanyakan negara Eropa Timur yang mengalami transisi demokrasi tahun 1989 seperti Serbia, Georgia, dan Ukraina memiliki penduduk mayoritas yang menginginkan demokrasi seperti di Eropa Barat. Hal ini tidak bisa dipaksakan kepada Rusia dan Cina yang memiliki hegemoni tersendirinya.

Menurut Francis Fukuyama dalam bab Social Engineering and the Problem of Development mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan pembangunan politik berkesinambungan dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Seperti perkataannya “...Development was taken a bit more seriously: it was seen as a means of inoculating populationsfrom the appeal of communism, a way to stabilize allies and anchor American influence around the world”. Setelah melewati masa Perang Dingin, pembangunan Amerika Serikat mengalami kenaikan angka yang signifikan. Pembangunan Amerika Serikat tersebut sudah seharusnya menjadi hal yang diprioritaskan dibandingkan melakukan rekayasa sosial seperti yang sudah dikatakan oleh James Q. Wilson di atas. Pembangunan dalam negeri mengalami stagnan terutama setelah terjadinya kasus 11 September yang mengakibatkan adanya kepentingan berkelanjutan untuk melawan terorisme dan melupakan masalah internal.

Amerika Serikat tidak cukup berhasil hingga saat ini dalam melakukan pembangunan negaranya sendiri. kemudian soft power Amerika Serikat saat ini terfragmentasi dan telah mengalami kegagalan di berbagai negara. Usaha-usaha demokrasi harus dilakukan dimulai dari pihak internal, dan kepentingan Amerika Serikat seharusnya melakukan tujuan untuk melakukan pemerintahan yang baik, dan bukan hanya melakukan rekayasa sosial untuk menjujung tinggi demokrasi.

[1] Zachary Selden, Neoconservatives and the American Mainstream, Policy Review, no.124, April 2004, hlm. 8.

[2] Robert Kagan dan William Kristol, Present Dangers: Crisis and Opportunity in American Foreign and Defense Policy. (Encounter Books, 2000).

[3] Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies. (Yale University Press, 1968).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline