Lihat ke Halaman Asli

Separuh Eropa, Separuh Pribumi: Eksistensi Orang Indo ( Bagian II)

Diperbarui: 13 September 2015   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Representasi tokoh gadis Indo dalam film Guru Bangsa Tjokroaminoto (tribunnews)"][/caption]

Bagian kedua ini akan membahas mengenai eksistensi orang Indo pada zaman kolonial. Kontak antara pribumi Nusantara dengan pedagang-pedagang Eropa diperkirakan telah berlangsung lama, pada abad ke VII, telah berdiri suatu gereja di Barus, Sumatra, serta terbentuknya komunitas Borgo di Manado bersamaan dengan penjelajahan Spanyol dan Portugis di abad XIV. Pada era ini Portugis mulai membuka hubungan dagang dengan Sunda Kelapa dan beberapa kerajaan di Nusantara. Maluku, sebagai pusat penghasil komoditas rempah - rempah yang melimpah ruah, mulai dilirik oleh pedagang - pedagang Spanyol, Belanda, Inggris dan Portugis. Dilaporkan pada tahun 1600, kerajaan Banggai di Sulawesi memiliki seorang Raja berdarah Indo, yaitu Maulana Prins Mandapar, hasil pernikahan ayahandanya dengan seorang perempuan portugis.

Pada Zaman VOC, jumlah populasi orang Indo mulai berkembang, ditandai dengan meningkatnya jumlah tawanan Mardijkers yang beranak-pinak di Batavia. Mardijkers adalah salah satu entitas utama kota Batavia pada abad XVI-XVII. Orang - orang Indo yang lahir pada abad ini kebanyakan merupakan hasil perkawinan serdadu VOC dengan perempuan Mardijkers, yang kemudian akan mengalami pergeseran pada abad berikutnya. Sistem pergundikan demgan mengambil seorang nyai dari perempuan lokal pada era ini masih dianggap tabu, dosa, menjijikkan bahkan menyimpang. Tapi faktanya karena kebutuhan batiniah para serdadu dan pegawai VOC menjadi faktor pendorong utama, praktik ini toh tetap berlangsung walaupun diam - diam. Banyak orang Eropa yang akhirnya meninggal terkena wabah penyakit karena buruknya sanitasi Batavia pada waktu itu, maka penambahan populasi merupakan hal yang mendesak. Darimana mendapatkan populasi orang Eropa yang setia dan cekatan dalam bekerja untuk kumpeni manakala hanya sedikit gadis - gadis Eropa yang bisa didatangkan ke Nusantara? 

Pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda, permasalahan ini terjawabkan dengan melegalisasi praktik pergundikan. Berdasarkan buku " Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda" karya Reggie Baay, praktik Nyai dianggap meningkatkan populasi orang Indo yang signifikan, yang kemudian dapat dididik menjadi orang " Belanda" baru, yang taat dan loyal kepada kumpeni.

Praktik pergundikan berlangsung cukup lama, dan cukup banyak perempuan lokal yang memenuhi kriteria akhirnya menjadi Nyai untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Perempuan - perempuan ini dituntut untuk kuat secara fisik, mampu memuaskan suami, dan merawat anak - anak Indo serta secara normal, harus mau mempelajari bahasa Belanda dan berpindah keyakinan menjadi Kristen. Walaupun banyak perempuan lokal yang menjadi Nyai, ternyata menurut Baay terdapat juga perempuan keturunan Mardijker, Jepang, Tionghoa dan bahkan dari kalangan Indo yang menjadi Nyai karena faktor kemiskinan. Di tengah kenyamanan hidup sebagai Nyai, tak sedikit pula Nyai yang diusir setelah si tuan Belanda mendapatkan anak. Nyai ini bahkan tidsk diperkenankan menengok atau sekedar melihat sang anak untuk selamanya. Salah satu dari sedikit kisah rakyat terkenal yang menceritakan mengenai kehidupan seorang Nyai yaitu kisah Njai Dasima. Di Tangerang, pemerintah kolonial sempat berencana melaksanakan sebuah proyek amalagamasi besar - besaran untuk menciptakan orang Hindia Belanda "hybrid" yang merupakan campuran antara Belanda, Tionghoa dan Betawi, guna menciptakan penduduk yang loyal kepada Belanda. Namun proyek ini gagal terlaksana.

Pada zaman Noormal atau biasa disebut " Tempoe Doeloe" (1920-1943) yakni era keemasan Hindia Belanda, semakin banyak perempuan Eropa yang berdatangan ke Nusantara. Otomatis, posisi mereka menggantikan praktik pergundikan dan pada 1930, populasi orang Hindia Belanda dengan status 'Eropa' adalah 300.000 jiwa. Yang menarik, hanya sekitar 20-30% saja yang merupakan Eropa asli atau 'trekker' (ekspatriat). Selebihnya adalah Orang Eropa yang lahir dan besar di Nusantara, atau orang Indo!

Orang Indo jarang menuai apresiasi di tengah gemerlapnya kehidupan orang Eropa Nusantara. Meskipun berstatus dipersamakan dengan Eropa totok, orang Indo masih dinilai bermental pribumi, kurang sigap dan kurang cekatan dalam bekerja. Orang Indo, dikenal sangat menyukai nongkrong di kampung bersama kawan - kawan pribumi, berbahasa pecok / petjok ( creole Belanda kasar yang dicampuraduk dengan bahasa Melayu pasar atau Jawa), serta mengenal santet. Di mata Pribumi, orang Indo juga dinilai cacat, karena dianggap memanfaatkan darah Eropa untuk kepentingan status dan jabatan serta acapkali dianggap sebagai antek Belanda. Sungguh suatu posisi yang serba salah, seperti dikemukakan tokoh Stella ( diperankan secara apik oleh Chelsea Islan, Guru Bangsa Tjokroamino), " Siapa aku ini, Tuan Tjokro?".

Pada era politik eties, kita mengenal tokoh nasional yang lahir dari kalangan Indo, yaitu E. F.E. Douwes Dekker atau Setiabudi yang terkenal dalam mendirikan partai politik pertama di Hindia, untuk menghimpun aspirasi orang Indo, Indische Partij. Dekker dikenal gifih menentang Belanda, maka ia diasingkan ke Suriname. Orang Indo, sedikit banyak telah membuktikan posisi loyalnya dalam sejarah Republik ini meskipun banyak dari mereka bekerja untuk pemerintah kolonial.

Bagaimanakah eksistensi orang Indo paska kemerdekaan? Nantikan di Bagian ke III. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline