Ketika Joko Widodo (Jokowi) pertama kali mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014, salah satu program unggulannya adalah Revolusi Mental. Program ini berfokus pada perubahan mendasar dalam cara berpikir, bertindak, dan berinteraksi masyarakat Indonesia untuk menciptakan karakter yang lebih baik. Meski Revolusi Mental bukan konsep yang baru karena pernah diusung Presiden Soekarno, namun dalam gegap gempita pemilu, konsep ini disambut dengan antusiasme tinggi oleh rakyat, yang melihatnya sebagai solusi bagi berbagai masalah sosial dan birokrasi, termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sudah mengakar dalam sistem pemerintahan. Namun, setelah hampir satu dekade kepemimpinan Jokowi, banyak yang mempertanyakan: Apakah Revolusi Mental benar-benar terwujud? Atau justru Jokowi sendiri yang menunjukkan bahwa revolusi ini diperlukan untuk dirinya dan rezimnya?
Janji Revolusi Mental
Revolusi Mental Jokowi bertujuan untuk mengubah cara pandang dan pola pikir masyarakat Indonesia. Dengan tiga pilar utama—integritas, etos kerja, dan gotong royong—Jokowi berharap mampu menciptakan bangsa yang lebih berdaya saing dan berkarakter. Sebagai program unggulan, Revolusi Mental diharapkan menjadi pondasi utama dalam memperbaiki berbagai sektor, mulai dari birokrasi, pelayanan publik, hingga pembangunan sumber daya manusia.
Mental KKN Semakin Subur
Namun, kenyataan berbicara lain. Bukannya menjadi bangsa yang berintegritas dan bebas dari praktik KKN, Indonesia justru semakin terjebak dalam lingkaran korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Korupsi semakin merajalela dengan modus yang makin berani dan bervariasi. Rakyat bingung siapa lagi yang tersisa untuk dipercaya, siapa lagi yang bisa dikatakan sebagai penyelenggara negara yang bersih. Rasanya semua eselon dari Sabang-Merauke sudah ada perwakilan masuk bui karena korupsi. Bahkan swasta pun ikut membesarkan keberadaan korupsi.
Kasus demi kasus terus bermunculan mencolok akal dan nurani rakyat. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas ikut kena virus. Kasus korupsi besar, seperti yang melibatkan BPJS Ketenagakerjaan, Asabri, dan Jiwasraya, menunjukkan bahwa mentalitas korup di birokrasi belum berubah, meski Revolusi Mental telah menjadi jargon nasional.
Kolusi dan nepotisme tak perlu dijelaskan panjang lebar situasinya. Salah satu contoh nyata adalah praktik bagi-bagi kursi yang semakin kental di era Jokowi. Para pendukung politiknya dan kerabat dekat mendapatkan posisi strategis di pemerintahan, yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat Revolusi Mental. Seolah posisi-posisi ini dijadikan alat transaksi politik, di mana dukungan diberikan dengan imbalan jabatan. Belum lagi dinasti politik, semua muncul bertubi-tubi tanpa jeda yang memberikan rakyat untuk bernapas sejenak dan mencerna kebrutalan penganiayaan demokrasi yang terjadi.
Lembaga negara juga saling berkolaborasi dalam permufakatan yang merugikan rakyat dan menciderai demokrasi. Nepotisme makin menjadi dan terang benderang. ISemua lebih politis ketimbang kompetensi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip integritas dan etos kerja yang dicanangkan dalam Revolusi Mental. Nampaknya Revolusi Mental hanya tinggal slogan, sementara praktik KKN terus subur.
Siapa yang Harus Direvolusi Mental?
Ketika Revolusi Mental pertama kali diluncurkan, harapan masyarakat tinggi bahwa perubahan besar akan terjadi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi menunjukkan bahwa mental yang perlu direvolusi adalah dirinya sendiri. Alih-alih menjadi panutan dalam integritas dan anti-KKN, Jokowi justru terjebak dalam praktik yang bahkan lebih parah dari rezim sebelumnya. Pada titik ini, sulit untuk membedakan apakah Jokowi benar-benar gagal dalam Revolusi Mental atau sengaja menggunakan program tersebut sebagai alat politik semata.
Revolusi Mental, yang awalnya digadang-gadang sebagai program besar yang akan membawa perubahan fundamental bagi Indonesia, telah gagal total dalam mewujudkan visinya. Program ini tidak hanya gagal menciptakan masyarakat yang lebih berintegritas dan bebas dari KKN, tetapi juga menunjukkan kemunduran mentalitas di dalam pemerintahan sendiri. Praktik bagi-bagi kursi, nepotisme, dan korupsi yang semakin merajalela menjadi bukti bahwa janji Revolusi Mental Jokowi tidak lebih dari sekadar retorika politik yang jauh dari kenyataan. Dalam kondisi ini, tampaknya Revolusi Mental yang sebenarnya harus dimulai dari Jokowi sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H